ProDaily, JAKARTA – Kemajuan pembangunan 10 kota baru publik di Indonesia masih kurang optimal akibat menghadapi banyak kendala. Padahal, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2019-2024 menargetkan setidaknya empat kota baru bisa terealisasi yakni di Maja (Banten), Sofifi (Maluku Utara), Tanjung Selor (Kalimantan Utara) dan Sorong (Papua Barat).
Founder SS Center, Soelaeman Soemawinata mengatakan membangun kota baru memang bukan pekerjaan yang mudah. Penguatan pusat-pusat pertumbuhan wilayah dan strategi pembangunan kawasan membutuhkan perencanaan yang benar-benar matang termasuk kriteria yang jelas. Selain itu, diperlukan basis kegiatan ekonomi dan konektivitas dengan kota penghubung (hub city).
Menurut Eman, demikian dia akrab disapa, parameter dan kriteria lokasi kota baru perlu disepakati dulu. Misalnya kota baru berjarak berapa kilometer dari kota inti yang menjadi pendukungnya, berapa jumlah penduduk dari kota inti yang ada di sekitarnya, dan aktivitas apa yang dapat membangkitkan ekonomi di kota baru tersebut sehingga orang mau pindah kesana? Lalu apakah ada aksesibilitas dan fasilitas seperti infrastruktur jalan, jaringan listrik dan air bersih.
“Secara teori, kriteria itu harus diperjelas dan diterapkan secara tegas. Tidak bisa sembarangan dalam menentukan lokasi kota baru, jadi alasannya harus kuat. Contoh orang mau pindah ke Serpong itu karena harga rumah di Jakarta makin mahal dan orang maunya tetap tinggal di rumah tapak (landed house),” ungkap Ketua Kehormatan Realestat Indonesia (REI) tersebut.
Dia tidak bisa memastikan apakah belum optimalnya pembangunan 10 kota baru adalah akibat kesalahan dalam pemilihan lokasi. Eman lebih menekankan pada apakah kriteria-kriteria (untuk membangun kota baru) sudah seluruhnya dipenuhi? Kriteria yang telah ditetapkan tersebut wajib dijalankan, termasuk dalam penentuan lokasi kota baru.
Jika tidak memenuhi kriteria dan tidak jelas untuk kepentingan apa kota baru itu dibangun, tegas Eman, maka sebaiknya jangan dipaksakan apalagi sampai memasang target yang tidak realistis.
“Kalau memang tidak perlu (dibangun kota baru) ya jangan dipaksa, karena membangun kota baru itu butuh pendanaan besar sekali. Harus ada alasan yang kuat bagi orang mau pindah ke kota baru misalnya di kota sebelumnya ada masalah kesehatan (polusi), penduduk terlalu padat, atau rawan bencana alam seperti banjir dan gempa,” ujar Board of Director Member FIABCI itu.
Dalam beberapa kasus, menurut Eman, kondisi kota sebelumnya yang semakin padat dan harga tanah yang semakin mahal cukup ditanggani dengan melakukan perluasan kota ke wilayah di sekitarnya yang sudah dihubungkan dengan infrastruktur jalan baru dan jaringan fasilitas kota lainnya.
Dukungan Pemerintah
Lebih lanjut dia menyatakan dukungannya terhadap upaya pemerintah yang sangat gencar melakukan pembangunan infrastruktur terutama jalan tol untuk memacu lebih banyak pertumbuhan sentra perekonomian di luar Pulau Jawa. Infrastruktur yang sudah dibangun tersebut harus dimanfaatkan secara optimal dan jangan sampai menganggur (idle).
“Yang perlu kita dorong adalah memunculkan sebanyak mungkin sentra ekonomi baru terutama di luar Jawa. Baik itu melalui pengembangan kawasan industri, kawasan ekonomi khusus (KEK) atau juga kota baru yang memiliki daya tarik ekonomi sehingga orang mau pindah keluar Jawa yang sudah cukup padat,” ungkap Ketua Badan Kejuruan Teknik Kewilayahan dan Perkotaan (BK-TKP) Persatuan Insinyur Indonesia (PII) tersebut.
Eman menyebutkan, pembangunan kawasan industri, KEK dan kota baru dapat menjadi salah satu cara paling efektif memunculkan pusat ekonomi baru di luar Jawa terlebih di Sumatera yang saat ini sudah didukung dengan jalan tol Trans Sumatera. Namun, pengembangan kawasan tersebut tidak bisa sepenuhnya diserahkan kepada swasta untuk membangunnya, tetapi tetap harus mendapat dukungan dari pemerintah terutama dalam penyediaan infrastruktur dasar. (aps)