ProDaily, JAKARTA – Indonesia sangat ketinggalan dalam merealisasikan kepemilikan hunian bagi warga negara asing (WNA) dibandingkan negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Thailand dan lainnya. Padahal, Indonesia memiliki potensi besar dari segi pasar, stabilitas politik dan ekonomi, infrastruktur, kondisi iklim tropis, dan keindahan alam yang memesona.
“Kita jauh tertinggal dari negara lain, padahal setidaknya ada tiga wilayah di Indonesia yang diminati dan disukai orang asing yakni Jakarta, Bali dan Batam,” ujar Wakil Ketua Umum DPP Realestat Indonesia (REI) Ignesjz Kemalawarta pada acara Sosialisasi Peraturan Kepemilikan Hunian untuk Orang Asing yang diselenggarakan REI di Jakarta, Kamis (3/8).
Menurutnya, proses penjajakan regulasi kepemilikan hunian untuk WNA ini sudah dimulai sejak beberapa dekade yang lalu. Butuh waktu yang lama sejak 1996 hingga akhirnya Pemerintah Indonesia membentuk peraturan yang layak lewat Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) yang dilengkapi dengan PP No.18 Tahun 2021 dan Permen No.18 Tahun 2021.
Di dalam beleid-beleid tersebut sudah diatur bahwa persyaratan WNA untuk memiliki hunian di Indonesia cukup hanya dengan paspor, visa atau izin tinggal. Tetapi nyatanya, meski aturan tersebut sudah diberlakukan sejak 2021, namun hingga kini realisasinya belum terlaksana.
Belum adanya transaksi efektif pembelian hunian bagi WNA di Indonesia, kata Ignesjz, disebabkan beberapa permasalahan yang menjadi hambatan. Dua yang terpenting diantaranya adalah berkaitan dengan syarat validasi untuk pembayaran BPHTB akibat pemerintah daerah masih mensyaratkan WNA sebagai subjek pajak luar negeri (SPLN) harus memiliki nomor peserta wajib pajak (NPWP).
“Padahal, sudah ada surat dari Dirjen Pajak yang menetapkan untuk WNA SPLN cukup memberikan nomor paspor yang berlaku dan tidak memerlukan NPWP untuk melaporkan pajaknya,” jelas Ignesjz.
Hambatan lain, tambahnya, terkait pemegang hak pengelola lahan (HPL) yang belum bersedia untuk memberikan rekomendasi transaksi untuk WNA. Padahal, mengacu kepada Permen No.18 tahun 2021 (pasal 13 dan 71) maka seharusnya tidak ada masalah bagi pemegang HPL untuk memberikan rekomendasi transaksi untuk WNI dan WNA.
Ignesjz menegaskan, permasalahan tersebut secara bertahap terus dibahas REI bersama Kemendagri yakni Ditjen Keuangan Daerah dan Ditjen Bangda, Kementerian ATR/BPN dan Pemda se-Jabotabek yang difasilitasi oleh Kementerian PUPR.
“Dalam waktu dekat juga akan dilakukan sosialisasi dengan pemda lainnya seperti di Bali, Jawa Timur, Lombok dan sebagainya untuk menyamakan persepsi terkait validasi BPHTB dan tanah HPL. Terlebih, saat ini di Batam sudah terjadi transaksi dan ada sekitar 40 perikatan jual beli yang dalam proses penerbitan sertifikat. Hal itu diharapkan dapat menjadi pembuka jalan bagi realisasi transaksi hunian bagi WNA di daerah lain di Indonesia,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Umum DPP REI Paulus Totok Lusida mengatakan REI akan terus mendorong dan memperjuangkan agar berbagai kendala yang masih menjadi masalah dalam realisasi pemilikan hunian bagi WNA dapat diselesaikan, sehingga regulasi yang sudah diterbitkan tersebut dapat berjalan di lapangan.
“Beberapa hambatan sudah dapat kita selesaikan seperti penafsiran KITAS (Kartu Izin Tinggal Terbatas) sebagai syarat pembelian yang kini sudah clear dengan acuan PP 18/2021. Juga soal pembukaan rekening bank untuk WNA, serta terkait kewajiban pajak bumi dan bangunan (PBB), sudah ada usulan dan solusinya,” kata Totok.
Selain itu, menanggapi masih banyaknya perjanjian nominee dalam transaksi WNA terutama di Bali dan Lombok yang merugikan negara, REI mendukung agar semua perjanjian nominee tersebut dibatalkan dan selanjutnya mengacu pada aturan yang diatur dalam PP No18/2021 dan Permen No.18/2021.
“Dengan upaya itu, maka regulasi yang ada saat ini akan memacu pajak masuk deras ke negara. Selain itu, pasar baru akan terbuka, menambah lapangan kerja, menggerakkan sektor konstruksi dan 174 sektor riil lainnya sehingga membawa dampak ekonomi yang besar untuk Indonesia,” pungkas Totok.
Komitmen Pemerintah
Sekretaris Jenderal Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Suyus Windayana mengakui pemilikan hunian bagi orang asing seperti diamanahkan UUCK akan membuka peluang peningkatan perekonomian Indonesia dan penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat.
“Karena itu, komitmen pemerintah adalah mempercepat penyelesaian beberapa masalah yang masih menghambat transaksi pemilikan hunian bagi orang asing dapat diselesaikan dan aturan yang ada bisa direalisasikan dengan efektif,” tegasnya.
Beberapa langkah yang sudah diberikan pemerintah untuk mengefektifkan regulasi diantaranya untuk memiliki hunian di Indonesia WNA cukup hanya memiliki dokumen keimigrasian seperti paspor, visa atau izin tinggal.
“Ini agak berbeda, karena sebelumnya kita meminta KITAS dan KITAP (Kartu Izin Tinggal Tetap) terlebih dahulu. Tetapi sekarang, KITAS dan KITAP nanti diberikan setelah orang asing tersebut membeli properti di Indonesia. Jadi posisinya dibalik,” kata Suyus.
Selain itu, agar Indonesia tidak ketinggalan dari negara-negara lain dalam memudahkan dan memperluas kepemilikan hunian untuk WNA, maka saat ini rumah susun (rusun) yang berdiri di atas hak guna bangunan (HGB) bisa juga dimiliki oleh WNA. Berbeda dengan aturan sebelumnya, dimana orang asing hanya dapat memiliki rusun di atas Hak Pakai.
Tetapi, jelas Suyus, pembatasan harga minimal hunian yang bisa dibeli WNA tetap diberlakukan. Untuk harga rumah tapak (landed house) saat ini ditetapkan minimal Rp5 miliar, dan untuk rusun minimal Rp3 miliar. Lalu di beberapa daerah, ada yang ditetapkan minimal Rp1 miliar untuk rumah tapak,” paparnya.
WNA juga hanya diperbolehkan memiliki satu bidang rumah tapak dengan luas tidak lebih dari 2.000 meter persegi (m2). Kecuali orang asing tersebut membawa dampak positif bagi ekonomi dan sosial di Indonesia, kata Suyus, maka dapat diberikan lebih dari 2.000 m2 sesuai izin Menteri ATR/BPN. (aps)