ProDaily, JAKARTA – Persatuan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun Indonesia (P3RSI) meminta Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menunda kenaikan tarif air bersih di rumah susun (rusun) yang melonjak hampir 71%. Kenaikan itu dinilai sangat tinggi dan tanpa sosialisasi kepada warga rusun.
Ketua DPP P3RSI, Adjit Lauhatta menegaskan kenaikan tarif air bersih dari Perusahaan Air Minum (PAM) Jaya di rusun yang mencapai 71% sangat memberatkan. Dia menyesalkan, Pemprov DKI Jakarta dan PAM Jaya yang tidak peka terhadap kondisi kehidupan warga di rumah susun yang mayoritas merupakan kalangan menengah dan masyarakat berpenghasilan rendah.
“Jelas memberatkan warga, karena dalam tabel layanan baru menempatkan rumah susun sebagai apartemen yang merupakan hunian yang sama dengan gedung bertingkat tinggi komersial, kondominium, dan pusat perbelanjaan dengan tarif sebesar Rp21.500 per m3,,” ungkap Adjit dalam acara Talk Show P3RSI di Jakarta, Kamis (6/2).
Menurutnya, salah satu masalah utama dalam pengenaan tarif air bersih ini adalah penetapan golongan apartemen/rumah susun disamakan dengan gedung bertingkat tinggi komersial, kondominium, dan pusat perbelanjaan. Padahal fungsi dan peruntukannya berbeda.
Rumah susun yang disebut juga apartemen, jelas Adjit, fungsi dan peruntukkannya adalah hunian, sedangkan yang lainnya untuk komersial. Oleh karena itu, tidak adil jika rumah susun disamakan dengan perkantoran dan pusat perdagangan. Bahkan, tarif air bersih yang dibayar warga rusun menjadi lebih mahal dibandingkan rumah tipe besar yang ada di kawasan elit Pondok Indah.
Atas hal tersebut, P3RSI mengusulkan agar kata apartemen di rincian jenis pelanggan gedung bertingkat tinggi komersial/apartemen/kondominium/pusat perbelanjaan, dihilangkan. Selanjutnya, gedung bertingkat yang fungsi dan peruntukkannya sebagai hunian lebih tepat digolongkan sebagai rumah susun menengah dan mewah.
Adjit juga menekankan bahwa akibat kenaikan tarif air bersih yang mencapai 71%, beban yang ditanggung pemilik dan penghuni rumah susun makin berat dengan kenaikan tarif air bersih dari awalnya Rp12.550 menjadi Rp21.500 per m3.
“Padahal, pengelola rumah susun dalam hal ini warga rumah susun masih menanggung perawatan instalasi air bersih di gedungnya yang mencapai miliaran rupiah setiap tahun. Sangat ironis, kalau pemerintah mendorong masyarakat untuk tinggal di hunian vertikal (rusun) tetapi setelah tinggal kok malah dikenakan tarif air bersih yang tinggi,” ujarnya.
DPP P3RSI telah melakukan berbagai upaya agar PAM Jaya menunda dan mengkaji ulang kenaikan tarif air bersih dan penggolongan pelanggan rumah susun di Jakarta. Antara lain melakukan audiensi dengan pihak PAM Jaya, lalu telah ditindaklanjuti dengan beberapa pertemuan. Namun hasilnya belum memuaskan warga rusun. PAM Jaya tetap bersikeras dengan keputusan mereka.
P3RSI juga telah menemui Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI), membuat Laporan Masyarakat ke Balai Kota DKI Jakarta, bersurat ke Ketua DPRD DKI Jakarta, bersurat ke semua Fraksi di DPRD DKI Jakarta, serta bersurat ke Pj. Gubernur DKI Jakarta.
“Talk show ini juga merupakan salah-satu upaya P3RSI untuk mencari solusi atas permasalahan ini. Kami berharap dengan diskusi ini dapat dihasilkan kesepahaman dan solusi atas persoalan ini,” harap Adjit.
Sikap DPRD
Anggota Komisi B DPRD Provinsi DKI Jakarta dari Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Francine Widjojo yang menjadi narasumber dalam talk show tersebut meminta PAM Jaya menunda pemberlakuan tarif baru layanan air, khususnya di rusun (hunian).
Dia menilai, belum ada urgensi kenaikan tarif air PAM Jaya di 2025 karena sejak tahun 2017 PAM Jaya selalu untung, dan tertinggi di tahun 2023 untung Rp1,2 triliun. Bahkan pada 2024 membagikan dividen Rp62 miliar ke Pemprov DKI Jakarta selaku 100% pemegang saham PAM Jaya. Tetapi tingkat kebocoran air atau non-revenue water sejak 2017 sangat tinggi yakni berkisar 42%-46%.
“Selain karena banyaknya penolakan dari warga rumah susun kalangan menengah dan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), dasar hukum keputusan kenaikan tarif air bersih ini masih dapat diperdebatkan,” tegasnya.
Menurut Francine, secara aturan sebenarnya yang bisa diterapkan PAM Jaya itu adalah kenaikan tarif air minum, bukan air bersih. Sebab PAM Jaya itu adalah perusahaan air minum bukan air bersih. Tetapi selama ini banyak warga Jakarta masih menikmati taraf air bersih saja.
“Jadi terkait tarif itu, harusnya dibedakan antara air minum dengan air bersih,” ungkapnya.
Sebenarnya, lanjut Francine, kenaikan tarif yang diatur di dalam Keputusan Gubernur Nomor 730 tahun 2024 itu terkait dengan tarif air minum, sehingga yang dinaikkan PAM Jaya seharusnya adalah tarif air minum terhadap pelanggan-pelanggan yang sudah menerima layanan air minum. (aps)