ProDaily, JAKARTA – Badan Pertimbangan Organisasi Realestat Indonesia (BPO-REI) yang merupakan para senior di asosiasi pengembang terbesar di Indonesia tersebut melakukan pertemuan untuk membahas sejumlah isu yang tengah mengemuka di sektor properti. Ajang silaturahmi ini juga menyampaikan dukungan terhadap target pertumbuhan ekonomi 8%.
Ketua Kehormatan REI, MS Hidayat mengatakan pertemuan sekitar 37 tokoh dan senior REI di kediaman pribadinya, Rabu (29/10) lalu, bertujuan memberikan support kepada pengurus DPP REI dalam memperjuangkan berbagai persoalan yang saat ini sedang dihadapi pengembang. Berbagai isu dibahas, dari mulai hambatan perizinan hingga pemulihan pasar dan daya beli masyarakat.
“Ya tadi silaturahmi, sudah lama juga tidak bertemu begini. Ada diskusi santai juga soal kebijakan pemerintah, kondisi pasar di tengah penurunan daya beli masyarakat, serta masukan untuk dilakukan DPP REI ke depannya. Pertemuan seperti ini akan rutin 5 bulan sekali kita adakan untuk terus memberikan masukan positif kepada pemerintah,” ujar Ketua Umum DPP REI periode 1989-1992 itu.
Di pertemuan, jelas Menteri Perindustrian RI periode 2009-2014 tersebut, para senior REI juga menyatakan komitmen untuk mendorong tercapainya pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 8% seperti ditargetkan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Menurutnya, sektor properti punya potensi menjadi salah satu lokomotif pertumbuhan ekonomi, karena mampu menggerakkan lebih dari 185 industri terkait di sektor riil. Tokoh dan senior REI mengaku sangat terbuka untuk membantu pemerintah dalam menyelesaikan berbagai permasalahan di sektor properti demi mendorong target pertumbuhan ekonomi.
Ketua BPO-REI, Paulus Totok Lusida menyebutkan saat ini sejumlah kebijakan telah diterbitkan pemerintah seperti program pembangunan 3 juta rumah, perpanjangan Pajak Pertambahan Nilai Di Tanggung Pemerintah (PPN DTP) hingga 2027, penambahan kuota rumah bersubsidi menjadi 350.000 unit di tahun 2025, serta gratis Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan retribusi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) bagi rumah masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
“Selain untuk MBR, kami juga terus memperjuangkan berbagai kemudahan bagi masyarakat berpenghasilan tanggung (MBT) dengan harga rumah hingga Rp500 juta. Ini kami sudah usulkan sejak lama, jadi bunganya komersial tetapi bebas PPN. Semoga disetujui dan ditetapkan lewat peraturan presiden,” ungkap Totok yang bersama dengan Sekretaris BPO-REI Bally Saputra Datuk Janosati menginisiasi pertemuan tersebut.
Totok Lusida menyinggung pula mengenai opsi realistis yang dapat dijalankan pengembang untuk menjalankan ketentuan konsep hunian berimbang seperti diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dan diubah melalui UU Cipta Kerja. Amanat tersebut mewajibkan pengembang membangun perumahan dengan komposisi seimbang antara rumah sederhana, menengah, dan mewah.
Beberapa opsi yang mengemuka antara lain dengan membayar dana konversi yang wajar, lokasi hunian berimbang dapat dilakukan di seluruh Indonesia, atau lokasi hunian di satu provinsi yang sama. Opsi-opsi ini, kata Totok, menjadi alternatif karena tidak mudah untuk mengubah ketentuan undang-undang. Saat ini, undang-undang menetapkan pembangunan hunian berimbang harus di satu hamparan untuk proyek skala besar, dan satu hamparan di kabupaten/kota yang sama bagi proyek skala non-besar.
Sedangkan berkaitan dengan kondisi pasar apartemen yang sedang lesu, berdasarkan hasil survei salah satu penyebabnya ialah akibat biaya service charge (iuran pemeliharan lingkungan/IPL) yang mahal. Untuk itu, dalam pertemuan tersebut Totok Lusida mengemuka usulan agar biaya service charge di apartemen seharga di bawah Rp1 miliar dapat dikurangi menjadi sekitar Rp12 ribu hingga Rp14 ribu per meter persegi agar semakin terjangkau.
“Tujuannya supaya MBT mau membeli dan tinggal di apartemen. Kami harapkan ada solusi soal tarif service charge apartemen menengah bawah ini,” harap Totok.
Ketua Kehormatan REI, Soelaeman Soemawinata mengatakan masalah living cost di apartemen yang mahal memang cukup menganggu pemulihan pasar apartemen. Hal itu mengingat tarif listrik dan air bersih di unit apartemen dikenakan tarif komersial yang berbeda dengan rumah tapak.
“Selain service charge yang mahal, di apartemen biaya kebutuhan sehari-hari seperti air bersih dan listrik juga ditetapkan sama dengan bangunan komersial. Ini tidak fair, karenanya harus dikonversi jadi tarif hunian,” ujarnya.
Dia mendorong pemerintah memberikan perhatian besar pada pasar apartemen yang sedang terpuruk, karena kalau minat orang tinggal di apartemen meningkat, maka banyak hal dapat terselesaikan seperti kemacetan lalu lintas dan pemborosan bahan bakar minyak.
Konsekuensi Hukum
Anggota BPO-REI, Adrianto P. Adhi dalam kesempatan itu menyampaikan penerapan kebijakan Lahan Sawah Dilindungi (LSD) dan Lahan Baku Sawah (LBS). Di mana dalam penerapan LBS, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nusron Wahid dalam pernyataannya mengatakan dirinya akan mengacu pada kondisi fisik tanah dalam memutuskan status lahan tersebut, bukan mengikuti tata ruangnya. Itu berarti, kalau fisik tanah masih merupakan sawah, maka akan ditetapkan sebagai LBS atau LSD.
“Ini tentu sangat serius, karena akan menimbulkan ketidakpastian pengembangan properti. Padahal menurut mereka yang paham hukum, RTRW dan RTDR itu amanat undang undang dan disebut-sebut sebagai panglima pembangunan. Tetapi sekarang kok terkesan tata ruang justru diabaikan,” ungkap Adrianto.
Menanggapi pernyataan Menteri Nusron Wahid yang hanya akan mengacu pada fisik tanah daripada tata ruang, MS Hidayat yang juga politisi senior Partai Golkar berpendapat menteri sebagai pejabat negara dalam menetapkan kebijakan tidak boleh melanggar perintah undang-undang. “Harus patuh pada ketentuan perundangan yang berlaku karena setiap keputusan ada konsekuensi hukumnya,” ungkapnya mengingatkan.

Pengembang senior, James T. Riady dan Sugianto Kusuma (Aguan) mengajak pelaku usaha properti khususnya REI mendukung program perumahan yang telah diluncurkan pemerintah termasuk Kredit Program Perumahan atau KUR Perumahan yang tahun ini disiapkan sebesar Rp130 triliun.
“Ada kredit dengan bunga rendah senilai Rp130 triliun yang harus dioptimalkan. Saya pikir untuk anggota REI sangat bagus (dimanfaatkan),” kata James Riady.
Sementara Aguan mengajak agar REI sebagai organisasi pengembang yang besar membantu program-program renovasi rumah di seluruh Indonesia. Menurutnya, banyak rumah masyarakat yang tidak layak huni, sehingga perlu dibantu oleh para pelaku usaha.
Beberapa senior REI yang tampak hadir adalah Siswono Yudo Husodo, Suharso Monoarfa, Yan Mogi, Agusman Effendi, Budiarsa Sastrawinata, Setyo Maharso, Eddy Hussy, Alex Tedja, Nanda Widya, Herman Sudarsono dan lainnya. (aps)

