ProDaily, BSD CITY – Pemerintah melalui Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) terus mendorong pengembangan hunian vertikal di perkotaan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dengan pendekatan berbasis data dan pasar. Salah satu dukungan yang dapat dilakukan negara adalah melalui pemberian subsidi tanah.
“Untuk hunian vertikal di perkotaan harus didukung subsidi pada tanahnya. Kita bisa mulai dari aset-aset tanah milik negara, BUMN atau BUMD. Kalau tanah yang disubsidi, maka harga bisa ditekan 20%-40% untuk hunian vertikal dan 50% untuk rumah tapak,” kata Wakil Menteri PKP, Fahri Hamzah dalam diskusi dan tasyakuran Hari Perumahan Nasional (Hapernas) tahun 2025 yang diadakan The Housing and Urban Development (HUD) Institute di BSD City Tangerang, Senin (25/8).
Menurutnya, kebijakan untuk pedesaan akan lebih diarahkan pada renovasi dan perbaikan rumah, karena mayoritas masyarakat desa telah memiliki tanah dan rumah tetapi kondisi rumahnya tidak layak. Tetapi di perkotaan, keterbatasan dan mahalnya harga lahan mendorong pembangunan harus mengarah ke perumahan vertikal. Model pengembangan seperti Housing and Development Board (HDB) di Singapura, ungkap Wamen Fahri, sangat relevan untuk diadaptasi.
Sementara untuk penataan kawasan kumuh kota dan pesisir pantai, tanah milik negara di sepanjang bantaran sungai dan pantai dapat digunakan untuk revitalisasi rumah layak huni sekaligus penataan kawasan. Rumah susun milik dan rumah susun sewa dengan konsep low-rise apartment dapat dibangun untuk dihuni MBR termasuk masyarakat yang dulu bermukim di kawasan kumuh sepanjang bantaran sungai.
“Jika hal ini yang kita lakukan, maka semua sempadan sungai dan pantai akan bersih dan tertata rapi. Sanitasi dan pengelolaan sampah dibenahi, sehingga tidak ada lagi yang buang sampah sembarangan ke sungai atau laut,” jelasnya.
Untuk mengakomodir pembangunan hunian vertikal di perkotaan termasuk revitalisasi hunian di bantaran sungai, maka dibutuhkan lembaga off-taker sebagai penjamin pasar perumahan MBR. Dengan adanya off-taker di bawah kendali pemerintah, maka pengembang yang membangun hunian vertikal tidak perlu khawatir lagi soal pembiayaan dan pemasaran, sedangkan MBR mendapat jaminan akses terhadap hunian.
“Selama ini kita terlalu fokus pada pembiayaan lewat skema swasta. Padahal yang lebih mendasar adalah data yang akurat dan lembaga off-taker. Kalau dua hal ini kuat, maka pembiayaan akan mengikuti,” sebut Wamen Fahri.
Sebelumnya, Wamen Fahri pernah mengusulkan reorientasi Perum Perumnas sebagai lembaga off-taker, yang mengadopsi pendekatan seperti Bulog di sektor pangan. Menurutnya, dengan angka backlog mencapai 15 juta unit, maka seharusnya pasar perumahan sudah jelas. Pengembang juga tidak perlu pusing memikirkan pemasaran unit yang dibangun, karena negara sudah menyiapkan institusinya.
Terkait data MBR, dia menekankan bahwa kebijakan perumahan harus berbasis data tunggal yang akurat. Melalui Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2025 tentang Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN), pemerintah berupaya menyamakan basis data sehingga intervensi sosial tepat sasaran.
“Kalau data kita berbeda-beda, keputusan kita juga berbeda dan akhirnya program salah sasaran. Karena itu penting sekali mendasarkan kebijakan pada data by name by address,” ujarnya.
Minta Dikritisi
Di kesempatan itu, Wamen Fahri meminta The HUD Institute, sebagai NGO (Non-Governmental Organization) yang beroperasi secara independent, untuk terus mengadvokasi kepentingan masyarakat khususnya terkait kebijakan perumahan dan permukiman yang dilakukan Kementerian PKP.
“Harus berani bersuara untuk kepentingan masyarakat. Saya melihat HUD ini kurang keras bersuara dan mengkritik program dan kebijakan Kementerian PKP. Harus diingat bahwa kebijakan perumahan tidak boleh hanya fokus pada angka backlog, tetapi harus menyentuh akar persoalan berupa kemiskinan, lapangan kerja, dan pertumbuhan ekonomi,” tegasnya.
Ketua Umum The HUD Institute, Zulfi Syarif Koto mengakui pentingnya pembenahan regulasi, penguatan data dan dukungan pembiayaan inovatif untuk mempercepat penyediaan rumah layak bagi MBR. Tugas tersebut harus menjadi fokus dari Kementerian PKP.
Menurutnya, pembahasan kebijakan selama ini lebih banyak fokus pada aspek keuangan dan suplai, sementara sisi permintaan (demand) masih kurang mendapatkan perhatian.
“Betul tadi yang disampaikan Pak Wamen bahwa kita belum memiliki peta permintaan hunian yang lengkap berbasis by name by address. Akibatnya, sulit untuk menentukan lokasi dan segmen penerima secara presisi,” ungkapnya.
Zulfi mengingatkan saat ini terjadi anomali dalam pasar perumahan yakni backlog yang tinggi namun stok rumah banyak tidak terjual. Hal itu terjadi sebagai akibat dari desain kebijakan yang kurang tepat, karena tidak membaca persoalan secara utuh.
Anggota Dewan Pembina The HUD Institute, Ali Kusno Fusin menambahkan peringatan Hapernas ke-75 ini menjadi momentum untuk memperbaiki kebijakan perumahan nasional. Dia menyoroti masih rendahnya tingkat penyerapan KPR FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan), padahal kuota FLPP mencapai 350.000 unit. Selain itu, sisi demand kurang diurusi, sehingga banyak komponen MBR yang tidak terakomodasi.
“Sisi demand enggak kesentuh. Misalnya data backlog darimana? Lokasi mereka yang butuh rumah ada dimana? Siapa dan apa pekerjaannya? Seperti sekarang ini, hanya sektor pekerja formal saja yang diakomidir, yang informal belum. Padahal penghasilan mereka bisa jadi di atas yang pekerja formal. Faktor demand ini perlu menjadi perhatian kita bersama,” ungkapnya.
Zulfi Syarif Koto menjelaskan, rangkaian peringatan Hapernas tahun 2025 akan dipusatkan di Bandung pada Kamis, 28 Agustus 2025. Dua agenda utama adalah penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) antara The HUD Institute dan City University Malaysia bersama 25 perguruan tinggi swasta di Indonesia, serta gelar wicara nasional dengan subtopik utama berkaitan dengan agenda reformasi kebijakan perumahan dan pembangunan perkotaan nasional. (aps)

