ProDaily, JAKARTA – Lima asosiasi pengembang perumahan dengan kontribusi pembangunan rumah subsidi terbesar yakni hampir 92% yakni REI, Apersi, Himperra, Appernas Jaya dan Asprumnas melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Badan Aspirasi Masyarakat (BAM) DPR RI di Gedung Nusantara 2 DPR RI, Rabu (19/3). Salah satu yang disampaikan adalah adanya stigma pengembang nakal yang terus digaungkan Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait atau Ara.
Dalam rapat yang dipimpin Ketua BAM DPR RI, Netty Prasetyani, Wakil Ketua BAM DPR RI Adian Napitupulu dan Wakil Ketua BAM DPR RI Cellica Nurrachadiana itu kelima asosiasi menyampaikan berbagai persoalan yang dihadapi pengembang perumahan bersubsidi termasuk berkaitan dengan stigma negatif yang disebarkan secara terstruktur hingga berujung pemeriksaan pengembang tanpa dasar hukum yang jelas.
Menanggapi keluhan dari asosiasi pengembang perumahan tersebut, Wakil Ketua BAM DPR RI Adian Napitupulu mengakui dirinya juga bingung dengan situasi yang dihadapi pengembang rumah bersubsidi, karena dituding sebagai pengembang nakal serta ada yang mengalami pemanggilan atau pemeriksaan dari kepolisian. Menurutnya, negara ditata dengan dasar-dasar hukum, sehingga harus jelas mana delik aduan, mana perdata dan yang mana pidana umum.
“Saya belum melihat kasus pemanggilan pengembang seperti tadi disampaikan terjadi misalnya di Papua itu apa dasar hukumnya dulu? Bagaimana ada menteri yang main bilang periksa, periksa, periksa (pengembang nakal). Setahu saya, konsumen yang membeli rumah ke pengembang punya klausul klausul perjanjian. Ada enggak klausul perjanjian itu yang dilanggar?,” tanya anggota Komisi V DPR RI yang membidangi urusan perumahan dan permukiman tersebut.
Menurutnya, jika memang ada pelanggaran perdata atau pidana yang dilakukan pengembang rumah bersubsidi, barulah aparat penegak hukum dapat menindak dan membuktikan kalau pengembang tersebut memang nakal. Tanpa ada pelanggaran hukum jelas dan tidak ada pengingkaran atas kontrak oleh pengembang, maka tidak boleh ada stigma nakal apalagi diperiksa polisi.
“Yang harus ditaati itu hukum. Kalau tidak ada hukum yang dilanggar atau tidak ada delik aduan, mau menteri atau siapapun yang ngomong ya tidak bisa. Kalau kita tidak pakai hukum acaranya, deliknya apa ya yang muncul adalah kesewenang-wenangan,” tegas Adian.
Dia menambahkan, situasi yang saat ini dialami pengembang rumah subsidi menjadi semakin personal karena pengembang dan banyak orang yang bekerja di perusahaanya tidak dapat melakukan usaha karena prosesnya terganggu. Kalau tidak diselesaikan cepat, maka ada sekitar 10-12 juta pekerja yang terancam nafkahnya, dan ada 185 usaha ikutan lain yang berdampak. Kondisi itu, ungkap Adian, tidak diinginkan karena akan membuat perekonomian Indonesia semakin terpuruk.
“Kami sangat memahami situasi yang dialami pengembang rumah subsidi ini, karena sudah untungnya kecil dan proses usaha terhenti eh harus juga dipanggil polisi. Oleh karena itu, Kementerian PKP (Perumahan dan Kawasan Permukiman) dan Komisi V harus berani ambil langkah untuk membenahi persoalan ini,” ujarnya.
Dikatakan, Komisi V sudah menjadwalkan untuk RDPU dengan Kementerian PKP terkait persoalan ini, yang dijadwalkan setelah reses. Selain itu juga akan menyurati Komisi III untuk mempertanyakan kepada Kapolri berkaitan pemanggilan pengembang. Menurut Adian harus diperjelas apakah polisi bisa memanggil pengembang tanpa ada pelanggaran pada klausul-klausul perdatanya?
“Kalau memang bisa, apa yang mau diperiksa? Apa polisi mau cek seluruh spesifikasi bangunannya? Kalau ada keberatan dan aduan konsumen tentu silahkan diperiksa, tetapi kalau tidak ada gugatan buat apa diperiksa? Enggak perlulah,” sebutnya.
Intimidasi Pengembang
Ketua Umum DPP Realestat Indonesia (REI) Joko Suranto dihadapan BAM DPR RI menyampaikan bahwa pihaknya di awal pembentukan Kementerian PKP sangat happy karena setelah satu dekade tidak memiliki “ayah”, pada akhirnya pemangku kepentingan (stakeholder) perumahan memiliki Kementerian sendiri. Bahkan, para asosiasi pengembang selama 8 bulan ikut terlibat dalam Satuan Tugas (Satgas) Perumahan yang dikomandoi Hashim Djojohadikusumo untuk merumuskan pembenahan kebijakan yang diperlukan di sektor perumahan.
“Tetapi sekitar lima bulan sejak Kementerian PKP terbentuk yang muncul kegaduhan kontroversial. Kami sebagai asosiasi pengembang merasa seperti anak yang kehilangan (lagi) ayahnya. Dulu saat masih diurusi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) justru tidak ada masalah apa-apa,” ungkapnya.
Joko Suranto menambahkan, saat ini asosiasi pengembang merasa tidak ada lagi perlindungan dan pembinaan dari pemerintah. Pengembang juga merasa khawatir akan nasib usaha mereka ke depan, karena tidak ada lagi rasa nyaman dalam berusaha terutama pengembang rumah bersubsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang dicurigai, mendapatkan intimidasi sebagai pengembang yang nakal, serta ada yang dipanggil polisi untuk diperiksa akibat dampak dari stigma tersebut.
Kelima asosiasi pengembang perumahan tersebut menilai lima bulan Kementerian PKP di bawah Menteri Maruarar Sirait Program 3 Juta Rumah yang seharusnya menjadi instrumen pengentasan kemiskinan saat ini belum ada progress apa-apa. Program ini masih jalan di tempat, karena disibukkan untuk memeriksa pengembang yang distigma nakal.
“Pengembang perumahan itu ada sekitar 18 ribu perusahaan. Ini ekosistem perumahan yang sudah terbentuk dan teruji, bahkan di saat Kementerian PKP belum dibentuk. Seharusnya kami dapat dijadikan kekuatan besar untuk mempercepat realisasi Program 3 Juta Rumah,” kata CEO Buana Kassiti Group itu.
Menurutnya, developer bahkan sebelum adanya Kementerian PKP telah memberikan kontribusi besar terhadap negara baik dengan membayar pajak maupun menyumbang aset terbesar kepada pemerintah daerah melalui fasos/fasum karena 40% fasilitas perumahan yang dibangun pengembang harus diserahkan kepada pemerintah daerah.
“Tetapi pada akhirnya yang dilihat hanya yang bagus buat konten saja, bukan yang substansi terkait penyelesaian akar masalah di sektor perumahan yakni backlog yang besar,” sebut Joko Suranto.
Di sisi lain, ungkapnya, pengembang juga dituding melawan negara hanya karena mempertanyakan rencana Kementerian PKP untuk melaporkan pengembang ke BPKP dan KPK. Padahal asosiasi pengembang hanya menjelaskan bahwa pengembang rumah subsidi tidak sepeser-pun memakai dana APBN. Yang memanfaatkan APBN dalam bentuk subsidi adalah masyarakat selaku pembeli rumah. Sehingga membingungkan jika pengembang akan diperiksa auditor negara.
“Hanya menjelaskan itu kepada publik melalui media massa, kami malah diberi cap melawan negara. Ini masih di negara yang demokratis kan, kok bertanya disebut melawan? Oleh karena itu, kami datang ke BAM DPR RI untuk menyalurkan aspirasi tersebut, sebagai warga negara yang baik kami memilih cara elegan ini,” tegasnya.
Kelima asosiasi pengembang mengatakan pihaknya sebagai pelaku usaha yang mengembangkan rumah subsidi sangat mencintai sektor perumahan. Meski margin-nya sangat kecil, tetapi atas panggilan jiwa untuk membantu pemerintah merumahkan MBR maka usaha ini terus dilakukan. Pengembang sudah puluhan tahun berkarya dan sejauh itu pula banyak masyarakat yang merasa terbantu dengan tersedianya hunian layak.
Saat ini, jumlah pengembang yang terdaftar di SiKumbang mencapai 18 ribu perusahaan, dimana 80% diantaranya adalah pengembang rumah bersubsidi yang merupakan UMKM.
“Bagi kami, sektor perumahan ini bukan hanya tentang bisnis semata, tetapi juga sumber untuk menghidupi jutaan pekerja. Kami berharap industri ini bisa mendapatkan kondisi yg lebih baik dengan kebijakan yang kondusif dan supportif,” pungkas Joko Suranto.
Di akhir rapat, Adian Napitupulu juga meminta Kementerian PKP untuk memperjelas Program 3 Juta Rumah ini agar dapat diukur kinerjanya. Secara gagasan, menurutnya, ide ini sangat baik, bahkan kalau perlu targetnya ditambah menjadi 3,5 juta atau 4 juta unit. Tetapi masalahnya bukan idenya, tetapi bagaimana agar program ini “membumi” sehingga dapat terealisasi.
“Program 3 juta ini apa harus diperjelas. Ada yang bilang rumahnya gratis, tapi kata menterinya tidak. Pembangunan di pesisir itu pesisir yang mana? Desa yang mana? Terus perkotaan itu alat ukurnya apa? Kan itu perlu dipertegas dulu. Kemudian pengembang swasta membangun tidak memakai APBN, itu mau diaudit BPKP bagaimana? Kalau perlu diaudit, ya pakai auditor publik saja,” tegas Adian.
Sementara itu, Ketua Umum DPP Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi), Junaidi Abdillah mengatakan kebijakan yang dikeluarkan Kementerian PKP belum ada yang dapat dirasakan dampaknya bagi masyarakat. Dia menyoroti kebijakan pembebasan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) serta retribusi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) yang kerap digaungkan Menteri Ara, nyatanya sampai kini belum dapat diterapkan.
Ketua Himpunan Pengembang Pemukiman dan Perumahan Rakyat (Himperra), Ari Tri Priyono, mendesak pemerintah mengeluarkan kebijakan yang kondusif. Dia merasa saat ini para pengembang justru terus disudutkan dengan stigma negatif. (aps)