ProDaily, BEKASI – Pembangunan tol Cimanggis- Cibitung diduga telah mengabaikan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sehingga mendapat keluhan dari warga sekitar.
Sejumlah warga yang terdampak di Desa Cijengkol, Kecamatan Setu dan Grand Residence City Bekasi misalnya, mengeluh bangunan rumah mereka retak-retak. Beberapa warga juga mendadak mengalami sesak nafas diduga infeksi saluran pernafasan akibat menghirup debu pengerjaan proyek tol tersebut.
Ketua RW 014 Desa Cijengkol, Abib Endang Trisnawan menyebutkan, sebanyak tujuh orang warganya terkena gangguan pernafasan dan terpaksa harus dilarikan ke rumah sakit. Padahal, sebelumnya tidak pernah punya riwayat penyakit tersebut. Sedangkan berdasarkan laporan warga, tedapat sebanyak 15 unit rumah mengalami retak akibat kencangnya getaran mesin alat berat pengerjaan proyek tol Cimanggis-Cibitung.
“Salah satu penyebab utamanya adalah terlalu banyak menghisap debu. Itu yang dibilang dokter. Kami tidak asal bicara, ada bukti rekam medis dari Rumah Sakit Hermina,” ujar Abib Endang.
Hal itu diungkapkan dia usai kegiatan mediasi antara warga dengan PT Cimanggis Cibitung Tollways (CCT) dan PT Waskita Karya, Selasa (17/10).
Karena itu, Abib Endang mewakili warga menuntut PT CCT dan Waskita Karya selaku pelaksana proyek agar memberikan kompensasi dana pengobatan serta perbaikan rumah kepada warga yang terdampak. Selain itu, warga meminta pembatasan jam kerja pembangunan proyek tidak dilakukan 24 jam karena menggangu waktu istirahat warga.
“Setidaknya, jam kerja bisa dikurangi paling lama sampai pukul 22.00 WIB. Pengerjaan proyek yang non stop membuat warga tidak dapat beristirahat nyaman, padahal mereka dituntut harus bangun pagi-pagi untuk bekerja,” jelasnya.
Bentuk kompensasi lain yang diminta adalah perhatian lebih terhadap kebutuhan sosial warga sekitar proyek. Menurut Abib Endang, warga berharap pihak CCT dan Waskita juga memprioritaskan pelaksanaan program Corporate Social Responsibility (CSR) di lingkungan sekitar proyek terutama yang terdampak.
Merespon keluhan warga, pihak PT CCT dan Waskita Karya berjanji akan memenuhi tuntutan warga. Dihny Puspita Aziz, QHSE Coordinator PT CCT mengatakan pihaknya menyadari setiap proyek pembangunan pasti akan ada yang terdampak, dan pihaknya siap menanggani keluhan masyarakat, termasuk soal debu proyek.
“Terkait dengan debu tadi, kita sudah melakukan penyiraman secara rutin dan memang lagi musim kemarau saat ini yang menyebabkan banyak debunya,” katanya.
Namun begitu, PT CCT akan terlebih dulu melakukan analisa data di lapangan dan keterangan dari sisi kedokteran. “Kita tidak bisa menjustifikasi itu disebabkan oleh debu atau bukan, kita harus berkoordinasi dengan rumah sakit terkait, apakah dampak dari debu atau bukan,” jelas Dihny.
Dijelaskan, PT CCT akan bertanggung jawab jika memang ada keterangan resmi dari dokter Hiperkes (Dokter bersertifikat Keselamatan Kerja) yang menyebutkan bahwa benar warga sakit akibat debu proyek tol Cimanggis-Cibitung.
“Kalau ada warga terdampak kita bisa konpensasi mereka, tapi dengan catatan bahwa itu (sakit ISPA) ada pernyataan dari dokter Hiperkes,” tegasnya.
Ganti Rugi Tanah
Sementara itu, Kuasa Hukum PT Agung Graha Persada Utama (AGPU), Roy Michael, menyebutkan selain tidak memerhatikan dampak lingkungan, pembebasan lahan di dalam kawasan Grand Residence City Bekasi juga cacat hukum.
Selain cacat hukum karena kesalahan penyebutan pemilik, eksekusi lahan seluas 6.000 meter persegi untuk pembangunan jalan tol Cimanggis-Cibitung tersebut juga mengabaikan prinsip keadilan soal ganti rugi tanah.
Menurut Roy Michael, nilai yang diberikan sangat jauh dengan nilai tanah di sekitarnya, padahal tanah yang dibebaskan itu adalah tanah matang yang siap dikembangkan PT AGPU. Anehnya, meski cacat hukum, eksekusi tetap berjalan dan permintaan perubahan harga sesuai dengan nilai pasar pun tidak digubris saat mediasi antara PT AGPU dan Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) PT Cimanggis Cibitung Tollways pada 21 September 2023 lalu.
“Jadi, nilai ganti rugi sangat timpang sekali dan kami mempertanyakan hal tersebut,” ujarnya.
Upaya mediasi yang seharusnya dilakukan sebelum eksekusi harus dilakukan setelah eksekusi meski dianggap cacat hukum. Mediasi dinilai gagal karena persidangan hanya dihadiri satu orang staf legal dari PT CCT. Untuk itu, sebut Roy Michael, klien mereka terpaksa harus menempuh proses persidangan selanjutnya.
“Ini menunjukkan tidak ada niatan mediasi yang serius dari pemerintah dan BUJT,” tegasnya.
Padahal, kata Roy Michael, apabila ganti rugi pembebasan tanah dijalankan sesuai aturan yang ada yakni Undang-undang (UU) Nomor 2 Tahun 2012 yang disempurnakan menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020 Tahun 2020, maka klien mereka PT AGPU tidak akan melakukan perlawanan hukum.
Tetapi karena pembebasan lahan tidak mengikuti aturan yang berlaku, maka PT AGPU selaku pemilik tanah terus melakukan upaya hukum terkait eksekusi lahan miliknya di Pengadilan Negeri (PN) Cikarang, Bekasi, Jawa Barat. Meski saat ini tanah tersebut sudah dieksekusi pemerintah untuk pembangunan jalan tol Cimanggis-Cibitung. (aps)