ProDaily, JAKARTA – Angka backlog perumahan di Indonesia diperkirakan akan terus bertambah. Hal tersebut terakumulasi oleh tingginya angka kelahiran, besarnya demografi penduduk Indonesia, dan probabilitas penduduk yang tinggal di perkotaan yang akan mencapai 66,6 persen di tahun 2035.
“Dari data-data tersebut, dapat dipastikan angka backlog akan sulit diselesaikan jika tidak ditanggani secara benar dan tepat,” tegas Ketua Umum DPP Realestat Indonesia (REI), Joko Suranto, saat menjadi narasumber pada diskusi yang diselenggarakan oleh Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) RI secara hybrid di Jakarta, Selasa (17/10).
Menurutnya, untuk dapat menuntaskan backlog perumahan yang angkanya telah mencapai 12,7 juta unit, dibutuhkan ruang-ruang yang besar terutama di perkotaan untuk mengantisipasi tingginya urbanisasi. Oleh karena itu, kebutuhan lahan untuk perumahan di perkotaan yang semakin meningkat, sangat membutuhkan penataan ruang yang konsisten, sehingga tidak terjadi lagi tumpang tindih aturan.
Joko Suranto menyebutkan, terus membengkaknya angka backlog perumahan disebabkan oleh banyak faktor. Salah satunya karena pembangunan perumahan selama ini masih menghadapi banyak kendala. Lihat saja data backlog yang tidak banyak berubah dalam satu dekade terakhir. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada 2010 angka backlog perumahan sebesar 13,5 juta unit, tetapi pada 2020 angkanya masih 12,7 juta. Artinya, backlog turun relatif kecil sekali.
“Faktanya, angka backlog memang tidak banyak berkurang karena sektor perumahan menghadapi banyak hambatan sehingga sulit untuk bertumbuh,” kata CEO Buana Kassiti Group tersebut.
Pelaku usaha juga masih merasakan banyak sekali perizinan yang harus diurus untuk membangun perumahan. Izin-izin tersebut tidak hanya di satu instansi, tetapi melibatkan banyak kementerian/instansi. Setidaknya sektor perumahan beririsan erat dengan sekitar 5-6 kementerian yakni Kementerian PUPR, Kementerian ATR/BPN, Kementerian Keuangan, Kementerian Perhubungan, Kementerian KLHK dan Kemendagri.
Selain kendala perizinan, penyebab lain backlog tidak turun adalah anggaran perumahan yang sangat terbatas. Saat ini anggaran untuk perumahan tidak sampai 10 persen dari total anggaran Kementerian PUPR yang pada 2023 mencapai Rp 154,36 triliun. Menurut Joko Suranto, kondisi ini menunjukkan sektor perumahan belum terkelola dan terakomodir secara baik, serta belum menjadi program prioritas.
“Akibat kurang terencananya program perumahan, maka biaya yang harus dikeluarkan pemerintah akibat rumah masyarakat jauh dari tempat kerja justru lebih besar lagi yakni mencapai Rp71,4 triliun atau 2,2 juta liter per hari. Anggaran sebesar itu dipakai pemerintah untuk mensubsidi bahan bakar minyak (BBM) karena macet yang parah di jalan raya terutama di Jabodetabek,” jelasnya.
Sementara itu, Kepala Badan Kajian Strategis DPP REI, Ignesjz Kemalawarta menilai sinergi antar lembaga kementerian negara selama ini belum optimal. Kondisi itu menyebabkan lemahnya penangganan berbagai kendala di sektor perumahan. Antara lain dia menyoroti perumahan yang tidak menjadi subsektor PUPR sesuai PP No. 5 tahun 2021tentang Perizinan Berusaha Berbasis Resiko. Sehingga tidak dikenal KBLI 68111 Real Estate dalam perizinan berusaha.
Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia atau KBLI menjadi dasar bagi pemerintah dalam pemberian izin berusaha berbasis risiko sebagai turunan dan amanat dari UU Cipta Kerja.
“Perumahan justru tidak menjadi subjek PUPR. Tetapi yang lain seperti pembangunan jalan, bendungan, dan konstruksi ada,” ujar Ignesjz.
Di samping itu, keberlanjutan program antar periode pejabat juga menjadi penghambat capaian sektor perumahan. Kecendrungan kebijakan yang berubah setelah periode pejabat berakhir menganggu kontiniuitas program perumahan, baik di pusat maupun daerah. REI berpendapat RPJMN seharusnya mengikat kebijakan pejabat sehingga menjamin keberlanjutan kebijakan pemerintah.
“RPJMN dan aturan turunannya seperti Renstra, RPJMD dan lain-lain sebagai masterplan yang menjadi acuan pimpinan lembaga pusat dan daerah,” ungkapnya.
Paradigma Propertinomics
Ke depan, REI berharap pemerintah lebih memerhatikan keberlanjutan program penyediaan perumahan di Indonesia, karena rumah menjadi bagian penting dalam sistem ketahanan nasional yaitu sebagai tempat pertama untuk membangun karakter dan kualitas hidup manusia Indonesia.
Apalagi, tambah Joko Suranto, sektor properti termasuk di dalamnya perumahan selama ini sudah memberi kontribusi besar terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional sebesar 14-16 persen, terhadap APBN sebesar 9 persen, dan pemasukan asli daerah (PAD) sebesar 30-50 persen. Kontribusi itu, tegasnya, sudah terealisasi dan bukan sekadar proyeksi.
Di sisi lain, sektor properti ini berkaitan erat dengan sekitar 185 industri lainnya di sektor riil yang memiliki daya ungkit bagi perekonomian nasional. Sebagai bisnis padat karya, sektor properti juga menyerap banyak tenaga kerja yaitu sekitar 10 juta-12 juta orang dari berbagai sektor. Artinya, kata Joko Suranto, industri properti harus menjadi sebuah faktor (pengungkit).
“Kami memilih satu paradigma baru yang kami sebut Propertinomics,” ungkapnya.
Menurutnya, sebagai asosiasi pengembang properti terbesar di Tanah Air, REI ingin kontribusi sektor properti terhadap APBN, PDB, PAD dan penyerapan lapangan kerja itu dapat terdongkrak lagi, sehingga sektor ini dapat menjadi faktor pendorong ekonomi Indonesia. Target tersebut bukan mustahil dicapai, mengingat realisasi investasi properti selalu masuk 4 besar penyumbang investasi nasional, berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
“Hitungan sederhana saja, kalau 7.000 anggota REI masing-masing investasi sekitar Rp10 miliar saja, maka nilai investasinya sudah Rp70 triliun. Nah, multiplier effect dari investasi inilah yang ingin kami dorong,” kata pengusaha properti berjuluk Crazy Rich Grobogan itu.
Goldman Sachs menyebutkan kontribusi sektor realestat di China mencapai 20-30 persen dari PDB. Sedangkan di Singapura dan Malaysia diperkirakan sudah mencapai lebih dari 20 persen. (aps)