ProDaily, JAKARTA – Presiden Joko Widodo pada saat membuka Musyawarah Nasional Realestat Indonesia (Munas REI) tahun 2023 menegaskan bahwa angka backlog perumahan nasional masih sangat besar mencapai 12,7 juta unit. Padahal, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) selalu mengklaim sudah membangun sejuta rumah setiap tahunnya.
Pakar Perumahan Nasional, Panangian Simanungkalit mengatakan klaim Kementerian PUPR itu tidak memiliki dasar yang jelas, dan hanya omong kosong belakang. Nyatanya, dari 2014 sampai 2023 angka backlog perumahan tidak berkurang bahkan seperti jalan di tempat.
“Iya dong, seharusnya dalam 9 tahun ini backlog sudah berkurang 9 juta unit sejak 2014. Tapi seperti lirik lagu tetap saja masih seperti yang dulu,” kelakarnya.
Menurutnya, karena bangsa Indonesia sudah memasuki tahun pemilu dan pilpres, maka sudah saatnya rakyat bertanya-tanya siapa calon presiden (capres) yang memberikan perhatian kepada sektor perumahan? Pasalnya, kata Panangian, persoalan backlog perumahan hanya dapat diselesaikan jika presiden memiliki visi misi yang jelas terkait perumahan rakyat.
Terlebih, Indonesia memiliki target zero backlog pada 2045. Panangian menyebutkan, dibutuhkan strategi untuk menyelesaikan angka backlog yang sekarang mencapai 12,7 juta unit. Kalau dihitung mulai 2024 nanti, maka hanya ada waktu 21 tahun lagi untuk menuju 2045. Maka setidaknya harus dibangun 600 ribu unit rumah per tahunnya.
“Selain itu ada kebutuhan sebanyak 700 ribu unit lagi dari keluarga baru seperti yang disampaikan Presiden Jokowi. Itu berarti, total rumah yang perlu dibangun setiap tahun harusnya 1,3 juta unit,” tegas Panangian.
Sementara itu, saat ini pasokan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) hanya sekitar 200 ribu hingga 250 ribu unit per tahun. Realisasi tersebut tidak jauh berbeda dari capaian pembangunan rumah di era orde baru termasuk di tahun jelang kejatuhan Soeharto.
“Di zaman Pak Harto, sebelum beliau jatuh itu realisasi pembangunan rumah mencapai sekitar 190 ribu unit per tahun. Lalu apa bedanya dengan sekarang?,” sebutnya.
Berarti penyelenggaraan perumahan tidak berjalan baik. Panangian mengaku prihatin, karena tidak ada kerja nyata untuk mengurangi angka backlog perumahan nasional.
Backlog perumahan adalah kesenjangan jumlah rumah terbangun dengan jumlah rumah yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Panangian juga menyoroti realisasi kredit pemilikan rumah (KPR) di Indonesia yang hanya Rp662 triliun atau 3% dari produk domestik bruto (PDB) nasional. Dibandingkan rasio KPR terhadap PDB negara lainnya, Indonesia jauh tertinggal. Panangian membandingkan dengan rasio KPR terhadap PDB Malaysia yang mencapai 34%, Singapura 42%, bahkan Vietnam sudah mencapai di atas 5%.
Penambahan Anggaran
Untuk memacu realisasi pembangunan perumahan, salah satu cara adalah dengan menambah jumlah anggaran subsidi perumahan. Anggaran subsidi perumahan saat ini sekitar Rp20 triliun, berada jauh dibawah subsidi pendidikan yang mencapai Rp570 triliun. Itu berarti, anggaran subsidi perumahan hanya 3% dari APBN. Bandingkan dengan negara-negara yang sudah maju atau yang paling dekat dengan Indonesia seperti Malaysia sebesar 10%.
“Idealnya sih kalau bisa mendekati 10%. Tapi kan nggak mungkin. Paling tidak ya Rp40 triliun sampai Rp50 triliun atau tiga kali lipat dari posisi sekarang. Yang jelas harus ada penambahan anggaran,” pungkasnya. (rin)