ProDaily, JAKARTA – Presiden Republik Indonesia (RI) yang nanti terpilih di 2024 diharapkan memberikan perhatian besar terhadap program penyediaan perumahan nasional. Kehadiran kembali kementerian khusus yang fokus menanggani hunian ini menjadi suatu keniscayaan yang sedang ditunggu-tunggu masyarakat dan pemangku kepentingan (stakeholder) di sektor perumahan.
Hal tersebut mengemuka pada diskusi media bertajuk “Perkuat Kelembagaan Perumahan Rakyat!” yang diselenggarakan Forum Wartawan Perumahan Rakyat (Forwapera) di Jakarta, Kamis (20/7).
Sekretaris Jenderal Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) Hari Ganie mengungkapkan selama ini pengembang masih menghadapi banyak persoalan di lapangan. Tidak hanya pengembang perumahan menengah bawah, tetapi juga pengembang properti komersial. Terlebih masalah perizinan yang sampai hari ini koordinasinya tidak berjalan dengan baik, meski pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK).
“Sejauh ini, kami masih melihat adanya koordinasi yang kurang baik terkait urusan di sektor properti terutama perumahan baik dari sisi perizinan, pembiayaan, perpajakan dan lain-lain. Oleh karena itu, memang dibutuhkan satu kelembagaan yang kuat dan fokus,” tegas Hari Ganie.
Menurut dia, beban kerja yang ditanggung Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) selama ini sudah terlalu berat. Pasalnya, hampir semua Program Strategis Nasional (PSN) yang berkaitan dengan pekerjaan fisik ditugaskan kepada kementerian tersebut. Sementara urusan perumahan rakyat terabaikan. Padahal sesuai namanya, Kementerian PUPR seharusnya juga memberikan perhatian yang berimbang untuk sektor perumahan rakyat.
Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Junaidi Abdillah menambahkan kementerian fokus perumahan mutlak, karena sektor perumahan berbeda dengan infrastruktur. Kedua hal tersebut tidak dapat disandingkan begitu saja, karena masalah perumahan tidak melulu urusan fisik semata.
“Beragam aturan pemerintah justru selama ini terbukti mempersulit sektor perumahan. Padahal, semua hal berawal dari rumah, tetapi belum terlihat adanya calon pemimpin bangsa yang mengusung isu-isu perumahan,” tegasnya.
Junaidi menambahkan, saat ini Indonesia masih menghadapi “hantu” backlog perumahan (kesenjangan antara jumlah rumah terbangun dengan jumlah rumah yang dibutuhkan) yang angkanya diperkirakan sudah lebih dari 13 juta unit. Tetapi nyatanya, pemerintah dalam satu dekade ini terkesan tidak fokus mengatasi persoalan backlog tersebut.
“Masalah justru timbul, dan seperti diciptakan. Aturan regulasinya sering berubah-ubah dan perizinan di tiap daerah berbeda-beda. Masyarakat yang ingin memiliki rumah, syaratnya juga dipersulit,” tegas Junaidi.
Ketua Umum Aliansi Pengembang Perumahan Nasional (Appernas) Jaya, Andre Bangsawan menyebutkan Kementerian PUPR terlihat lemah dalam menjalankan fungsi di sektor perumahan rakyat. Selain itu, kementerian yang merupakan gabungan dari Kementerian PU dan Kementerian Perumahan Rakyat itu juga kurang serius dalam mengurusi backlog perumahan yang jumlahnya semakin melonjak.
“Kementerian PUPR terkesan kurang serius dalam menjalankan fungsinya di sektor perumahan. Badan dan lembaga yang dibentuk pun ternyata tidak bekerja secara maksimal. Badan Percepatan Penyelenggaraan Perumahan (BP3) misalnya, saat ini seolah mati suri, tidak ada action sebagaimana tujuan pembentukannya,” kata Andre.
Appernas Jaya mendukung penuh dibentuknya kembali kementerian khusus yang fokus mengurusi perumahan. Hal itu untuk membantu masyarakat untuk memiliki rumah layak huni dan mendorong penyediaan rumah oleh pengembang lewat regulasi yang efektif.
Ketua Umum Himpunan Pengembang Permukiman dan Perumahan Rakyat (Himperra) Endang Kawidjaja menyatakan dukungan asosiasinya terhadap upaya penguatan kelembagaan perumahan. Diakuinya, memang ada beberapa isu perumahan rakyat yang harus dituntaskan pemerintah. Diantaranya soal pertanahan dan perizinan.
“Selama ini banyak peraturan perizinan dan pertanahan yang dulu sebetulnya sudah kuat, tetapi sekarang justru menjadi lemah. Karena itu perlu diperkuat kembali,” tegasnya.
Endang menyoroti dampak dari UUCK yang menghilangkan jejak panjang lex specialis perizinan rumah subsidi untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Hal tersebut menyebabkan urusan perizinan dan pertanahan pengembang rumah subsidi semakin sulit. Dalam hal pembiayaan, saat ini program BP2BT (Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan) dihapus untuk rumah bersubsidi tetapi justru dilanjutkan untuk rumah komersial (non-subsidi).
“Ini ibarat ada peluru, tetapi tidak ada sasarannya. Atau ada sasaran namun peluru tidak ada. Ya akhirnya jalan di tempat,” sebutnya.
Tidak Terurus
Pengamat Properti Nasional, Panangian Simanungkalit berpendapat harus ada lembaga kementerian yang fokus untuk menyelesaikan backlog nasional. Sejak Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) dilebur ke Kementerian PUPR di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), dia melihat pemerintah tidak fokus mengurusi penyediaan rumah rakyat.
“Satu dekade ini di bawah PUPR tidak ada yang fokus. Pemerintah malah membuat peraturan-peraturan yang tidak pernah mereka ketahui sama sekali. Apa yang dikerjakan pemerintah di sektor perumahan rakyat itu kosong dan terlihat mereka bukan pelayan masyarakat. Ini kayak mental penjajah,” tegas Panangian.
Dia mengaku dapat merasakan kekecewaan besar yang dirasakan asosiasi pengembang yang selama ini sudah bekerja membantu pemerintah dalam menyediakan perumahan untuk masyarakat. Saat ini, ungkap Panangian, ada sekitar 13 ribu perusahaan properti yang masing-masing mempekerjakan sekitar 30 hingga 1.000 orang pekerja.
“Tapi pengembang ini justru tidak diberi tempat yang layak oleh pemerintah. Mereka hanya diberikan seorang selevel dirjen (direktur jenderal) yang tidak powerfull untuk mengurusi perumahan dan properti. Ini langkah mundur dari yang sudah pernah dilakukan dan dicapai pada zaman pemerintahan Presiden Soeharto dulu,” ungkap Panangian.
Langkah Presiden Jokowi yang selama dua periode menggabungkan Kemenpera dengan Kementerian PU berarti tidak menganggap dan menghargai kontribusi industri perumahan bagi negara ini. Yang lebih parah, tegas Panangian, sekitar 13 ribu pengusaha properti itu seperti kehilangan induk.
“Banyak sekali isu (perumahan) yang orang pemerintah sendiri tidak mengerti. Jadilah mereka mental penjajah, bukan mental pelayan. Inilah persoalan birokrasi di Indonesia. Kalau dibilang revolusi mental tidak berhasil, itu betul sekali,” ujarnya.
Optimalisasi Pembiayaan
Di diskusi yang sama, Kepala Divisi Riset Pengembangan Kebijakan dan Skema Pembiayaan BP Tapera, Luwi Wahyu Adi menyebutkan sebagai Operator Investasi Pemerintah (OIP) yang ditunjuk dan ditetapkan Menteri Keuangan dalam pengelolaan Dana Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), BP Tapera sejak berdiri selalu melakukan koordinasi dengan kementerian terkait sesuai tugas dan fungsinya.
“Dalam upaya pengurangan angka backlog perumahan, BP Tapera berada pada demand side untuk menghimpun dan menyediakan dana murah jangka panjang yang berkelanjutan. Kebijakan pemerintah dalam melakukan penyesuaian harga rumah bersubsidi kami harapkan bisa kembali memacu sisi pasokan dengan mengembangkan rumah berkualitas sesuai aturan yang berlaku,” ujarnya.
Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) dibentuk berdasarkan Undang-Undang No 4 tahun 2016. Badan ini bertujuan untuk menghimpun dan menyediakan dana murah jangka panjang di sektor perumahan.
Sementara itu, Subsidized Mortgage Division Head Bank Tabungan Negara (BTN) Teguh Wahyudi menjelaskan bahwa Bank BTN merupakan bank perumahan dengan pangsa pasar KPR terbesar di Indonesia dan menjadi kontributor utama Program Satu Juta Rumah (PSR) terutama di segmen MBR.
Dalam lima tahun terakhir, Bank BTN telah menyalurkan KPR Subsidi lebih dari 1 juta unit dengan kapasitas penyaluran KPR Subsidi Bank BTN sekitar 230 ribu unit.
“Saat ini diperlukan pendefinisian fokus dan pemenuhan lembaga dari masing-masing stakeholder agar ekosistem perumahan dapat berjalan lebih efektif dan efisien. Butuh optimalisasi peran strategis stakeholder pada ekosistem perumahan nasional,” kata Teguh.
Terdapat beberapa peran stakeholder yang perlu diselaraskan. Diantaranya memprioritaskan anggaran pembiayaan perumahan kepada bank fokus perumahan dan penyaluran bantuan perumahan hanya dilakukan oleh bank penyalur, sehingga penyaluran akan jauh lebih efisien.
Selain itu, penting untuk mempercepat implementasi peran Bank Tanah untuk memastikan ketersediaan lahan untuk pembangunan hunian bersubsidi, menetapkan Standarisasi Imbal Jasa Penjaminan (IJP) untuk pengendalian risiko dan perolehan profit margin yang optimal, serta integrasi data pasokan dan permintaan rumah antara Kementerian PUPR dan Pemerintah Daerah.
“Juga perlu mempercepat implementasi BP3 untuk melakukan monitoring keterhunian dan offtaker. BP3 diharapkan dapat mengawasi keterhunian dari hunian subsidi yang telah disalurkan,” kata Teguh. (aps)