ProDaily, JAKARTA – Adopsi komputasi awan (cloud computing) dan kecerdasan buatan (AI) yang semakin meningkat memacu pertumbuhan cepat di sektor pusat data (data center). Demikian diungkap laporan terbaru Global Data Centre Outlook Jones Lang LaSalle (JLL).
Tercatat sebesar 79% dari keseluruhan permintaan, hyperscaler (terutama penyedia layanan cloud global) dan edge data centres (fasilitas lebih kecil yang terletak lebih dekat dengan pemukiman serta infrastruktur yang dilayani oleh mereka) memimpin sebagai segmen pasar yang mengalami pertumbuhan paling cepat.
Menurut JLL, pasar hyperscale diperkirakan akan tumbuh 20% dari tahun 2021 hingga 2026, karena semakin banyak perusahaan teknologi berupaya memenuhi permintaan yang melonjak untuk kebutuhan pengolahan dan penyimpanan data.
Dengan lebih dari 300 situs hyperscale baru yang sedang dikembangkan secara global saat ini, jumlah tersebut diperkirakan akan melampaui angka 1.000 pada akhir tahun 2024 – naik dari sekitar 500 situs sejak lima tahun lalu.
Penggunaan pusat data di Asia akan terus berlanjut meskipun terdapat hambatan ekonomi yang disebabkan oleh beberapa faktor termasuk penggunaan media sosial yang berkelanjutan di China (938 juta pengguna) dan India (467 juta pengguna).
Menurut JLL, status pusat data regional di Tokyo, Hong Kong, Singapura, dan Sydney tetap baik, dengan gabungan total inventory sebesar 3000MW dan 765MW yang sedang dalam proses pembangunan. Namun, beberapa perusahaan semakin mempertimbangkan kawasan pasar hub dan edge lainnya, termasuk Jakarta dan Mumbai, karena meningkatnya penggunaan ponsel.
Christopher Street, Managing Director, Head of Data Centres, Asia Pacific, JLL mengatakan lima tahun lalu gedung kampus biasanya berukuran sekitar 50MW. Namun saat ini, bukan hal yang jarang untuk melihat bangunan berukuran 100MW atau lebih.
Asia Pasifik saat ini menyumbang 26% dari kapasitas pusat data hyperscale global pada tahun 2022. Di pasar yang sudah matang seperti Singapura, Hong Kong, Tokyo, Shanghai, dan Sydney, JLL melihat kesenjangan kapasitas yang besar, dan ini dengan cepat dijembatani oleh pusat data baru yang besar.
“Selain itu, pasar negara berkembang menjadi target yang diminati dari penyedia cloud dan hyperscaler. Mengingat pengaruh kawasan Asia Pasifik dalam ekonomi global, peluang yang signifikan sekarang hadir di pasar ini,” jelas Christopher Street dalam laporannya yang dikutip, Jumat (7/7).
Hadapi Tantangan
Namun, pertumbuhan ini juga mendatangkan tantangan tersendiri. Secara global, 53% operator pusat data mengalami kesulitan dalam mencari kandidat yang memenuhi kualifikasi, dan 42% dihadapkan pada tantangan dalam mempertahankan staf.
Seiring dengan isu tenaga kerja, sustainability kini juga menjadi prioritas utama bagi para pengembang, operator dan investor pusat data, yang termasuk dalam agenda penanganan penggunaan energi dan emisi. Legislasi dan inisiatif self-regulatory, seperti Moratorium Pusat Data Singapura, menetapkan standar untuk meredam dampak perubahan iklim dari industri ini.
Glen Duncan, Data Centre Research Director, Asia Pacific, JLL menambahkan sustainability telah menjadi tema utama sejak pandemi. Untungnya, banyak bisnis di Asia Pasifik telah memulai program sustainability yang didorong oleh tujuan untuk memberikan dampak baik pada aksi ramah lingkungan untuk sustainable realestat.
“Dengan semakin banyak operator yang mencari solusi inovatif untuk efisiensi energi, kami yakin upaya ramah lingkungan di sektor ini akan terus berlanjut,” ungkapnya.
Menurut Glen Duncan, bagi pengguna pusat data, mengalihkan seluruh operasi mereka atau mempekerjakan spesialis dari pihak ketiga dapat membantu mengatasi tantangan dalam hal tenaga kerja.
“Mereka yang paling cepat merespons kedua tantangan antara persoalan tenaga kerja dan sustainability ini berpeluang mendapatkan manfaat dari efisiensi biaya dan operasional,” pungkasnya. (aps)