ProDaily, JAKARTA – Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) hingga kini masih menggodok skema pembiayaan sewa-beli atau rent to own (RTO). Pembahasannya masih terkendala sejumlah persoalan, salah satunya menyangkut siapa agregator atau entitas “penjamin” dari aset hunian yang disewa-belikan,
Agregator akan bertindak sebagai pihak yang memiliki aset dan menghubungkan penyewa kepada lembaga keuangan yang memiliki produk pembiayaan sewa-beli. Selain itu bertindak sebagai pihak yang melakukan pembelian atas objek sewa beli jika terjadi wanprestasi oleh penyewa.
Direktur Pelaksanaan Pembiayaan Perumahan Ditjen Pembiayaan Infrastruktur Kementerian PUPR, Haryo Bekti Martoyoedo dari sisi skema sebenarnya skim sewa-beli sudah ada. Bahkan sudah ada bank dan lembaga keuangan pembiayaan yang menerapkan skema tersebut dengan menyasar segmen pasar komersial atau di atas MBR.
Tetapi dari pilot project yang sudah dilakukan, ungkapnya, masih perlu dikaji dan dicari siapa entitas agregator yang menguasai atau mengelola aset hunian tersebut selama masa sewa berlangsung. Apakah pengembang atau lembaga keuangan?
“Itu yang masih belum ada kesepakatan sehingga butuh pembahasan mendalam. Kita sekarang sudah memiliki ekosistem pembiayaaan, dan ekosistem sewa-beli ini juga sudah mendesak untuk dibangun. Dalam kajiannya kami melibatkan seluruh stakeholder termasuk perbankan dan pengembang,” ujar Haryo pada diskusi media bertajuk “Skema Sewa Beli, Solusi Milenial Punya Rumah” yang diselenggarakan Indonesia Housing Creative Forum bekerjasama dengan Real Estate Editors Community (RE2C) di Jakarta, Kamis (22/6).
Menurutnya, ke depan skema sewa-beli ini akan lebih didorong untuk hunian vertikal (apartemen) di perkotaan yang lebih dekat dengan tempat kerja dan fasilitas moda transportasi massal. Hal itu sejalan dengan komitmen pemerintah untuk terus mendorong pembangunan hunian vertikal termasuk di simpul-simpul berbasis transit oriented development (TOD).
“Fokus kita ke depan adalah bagaimana mempersiapkan skema rent to own ini menjadi lebih menarik dan diminati masyarakat,” kata Haryo.
Terkait model sewa-beli yang disiapkan,diakuinya banyak model yang sebenarnya dapat diterapkan. Di Inggris misalnya, sistem kepemilikannya hanya 50 persen. Tetapi di Indonesia saat ini fokusnya adalah kepemilikan utuh, sehingga masyarakat membeli unit hunian tersebut secara utuh pula.
“Sewa dulu, sampai nanti dalam waktu tertentu dia memiliki porsi kepemilikan 100 persen, Jadi prosesnya bertahap dan itu bisa diatur sesuai kemampuan masyarakat,” jelasnya.
Deputi Komisioner BP Tapera, Ariev Baginda Siregar mengatakan salah satu tantangan terbesar saat ini adalah masih rendahnya kesadaran generasi milenial untuk memiliki rumah. Faktor penyebabnya adalah karena terjadi perubahan gaya hidup.
“Saat gaya hidup berubah, maka orang cenderung menjadi hedonis. Sekarang orang kan banyak yang bangga selfie memamerkan kemewahan. Akibatnya, saat dia spending fokusnya kepada wants (keinginan), seharusnya dia fokus ke kebutuhan, needs,” ujar Ariev.
Menurutnya, generasi milenial harus fokus kepada kebutuhan rumah. Kalau kesadaran itu sudah tumbuh, maka tahap berikutnya perlu disiapkan skema pembiayaan untuk membantu kemampuan mencicil mereka. Salah satunya melalui skema sewa-beli.
“Konsep sewa-beli ini adalah rumah disewa terlebih dahulu dalam jangka waktu sesuai dengan kesepakatan. Dimana kesepakatan harga jual-beli rumah sudah ditetapkan di awal, sehingga di awal perjanjian sudah ada komitmen,” jelasnya.
Sewa-beli itu, kata Ariev, sebenarnya hanya ada di bank syariah karena bank syariah bisa membeli aset dan aset tersebut bisa disewakan atau dijual kembali kepada nasabah.
Kemudian saat diterapkan, konsep sewa-beli ada masalah yakni terjadi pajak ganda (double tax). Kenapa? Karena pengembang dengan alasan cashflow pasti tidak mau unit merek disewa, tetapi dijual kepada satu entitas sehingga terjadilah transaksi jual beli dan dikenakan pajak. Kemudian unit disewakan dan dibeli lagi sehingga terkena pajak kembali.
“Di beberapa negara yang penerapan lembaga keuangan syariahnya sudah kuat seperti Malaysia ini (double tax) tidak terjadi, karena masuk dalam skema sewa-beli syariah,” jelas Ariev.
BP Tapera juga sudah mengadopsi konsep sewa-beli tersebut ke dalam sistem konvensional dengan nama graduated payment mortgage (GPM) atau lebih dikenal dengan istilah angsuran cicilan berjenjang. Dimana sejak awal hingga akhir suku bunganya tetap, tetapi cicilannya berjenjang.
“Berjenjang artinya cicilan pokoknya yang naik berjenjang, sementara bunganya flat. Ini cara kami dari BP Tapera membantu masyarakat yang memiliki masalah dengan kemampuan mencicil,” sebut Ariev.
Head Departmen KPR Bank Tabungan Negara (BTN), Cesar AB menyebutkan Bank BTN bisa membantu milenial untuk mendapatkan hunian melalui skema sewa beli (rent to own). Program ini berangkat dari konsep pemilikan rumah yang menggunakan mekanisme sewa dalam jangka waktu tertentu dan memberikan pilihan untuk memiliki rumah dengan cara kredit di masa akhir sewa.
“KPR Rent to Own Bank BTN saat ini masih berfokus di area Jabodetabek, Karawang, dan Sumatera. Target sasarannya masih kepada KPR segmen komersial atau non-subsidi,” ungkapnya.
Untuk mendorong penyaluran KPR Rent to Own tersebut, BTN menggandeng Rent To Own Provider (RTO Provider) yang sudah memiliki kerjasama dengan banyak developer dan memiliki pilihan hunian yang bervariasi untuk ditawarkan kepada konsumen.
Calon konsumen dapat memilih rumah yang telah terkualifikasi oleh RTO Provider dan membayar uang muka mulai dari 5 persen. Kemudian RTO Provider dan konsumen melakukan perjanjian sewa dengan opsi pembelian sesuai harga yang telah disetujui di awal. Konsumen memasuki masa sewa dan membayar sewa bulanan yang sudah mencakup tabungan uang muka.
“Setelah memiliki tabungan uang muka sebesar 10 persen, maka pelanggan dapat mengajukan KPR,” jelas Cesar.
Direktur PT Sarana Multigriya Finansial (Persero) atau SMF, Heliantopo mengatakan, pihaknya juga mengatasi keterjangkauan generasi milenial untuk memiliki rumah dengan skema sewa-beli. Skema tersebut merupakan alternatif pembiayaan bagi masyarakat yang belum terjangkau oleh lembaga keuangan.
“Program ini kami tujukan untuk MBR di sektor informal yang memiliki pendapatan tidak tetap (non-fixed income) dan memiliki keterbatasan dalam menyiapkan dana awal atau belum dapat mengakses pembiayaan perbankan,” jelasnya.
Saat ini, SMF sedang melakukan pilot project rumah tapak seharga Rp150 jutaan dengan skema pembiayaan sewa-beli di Kronjo, Tangerang, Banten. Skema sewa-beli ini, kata Heliantopo, dapat diterapkan untuk rumah tapak maupun rumah susun vertikal. “Isunya tinggal mempertemukan agregator dan permintaan penyewa,” ungkapnya.
Perusahaan agregator sebagai pemilik rumah akan melakukan perjanjian sewa- beli langsung dengan end user (masyarakat) dan kemudian lembaga keuangan akan melakukan pencairan pembiayaan untuk melunasi kewajiban sewa-beli kepada agregator. Setelah itu, end user memiliki kewajiban pelunasan utang kepada lembaga keuangan dan agregator wajib memberikan agunan berupa buy back guarantee sepanjang jangka waktu pembiayaan sewa-beli.
“Lembaga keuangan mengajukan refinancing kepada SMF setelah pembiayaan sewa-beli berjalan, minimal telah diterima deklarasi kolektabilitas debitur berstatus lancar dari lembaga keuangan,” jelas Heliantopo.
Strategi Pengembang
Sementara itu, Direktur PT Metropolitan Land Tbk, Wahyu Sulistio memaparkan bahwa saat ini cukup banyak pengembang yang masih memiliki stok unit apartemen. Hal itu karena banyak unit tidak terserap optimal selama pandemi, sementara konstruksi apartemen sudah selesai.
“Kondisi itu membuat banyak pengembang apartemen ingin mempercepat penyerapan unitnya. Di sisi lain angka backlog kepemilikan hunian juga masih tinggi dan itu menjadi peluang bagi pengembang,” ungkapnya.
Peluang lain, jumlah generasi milenial cukup tinggi sebagai dampak dari bonus demografi. Menurut Wahyu, pengembang tidak melihat milenial dari sisi usia saja, tetapi juga status ekonomi sosial mereka. Dari sini terlihat bahwa milenial itu memiliki kemampuan spending yang bervariasi dari berkemampuan besar, menengah dan bawah.
“Untuk memacu penyerapan stok unit apartemen yang ada, Metland melakukan strategi dengan dua skema yakni sewa dan beli. Jadi tidak digabungkan sewa-beli, karena kalau digabungkan ada masalah dari sisi pajak tadi. Yang kami terapkan sekarang adalah akad sewa, tetapi kalau nanti cocok bisa akad jual beli,” paparnya.
Skema lain yang sedang digodok Metland adalah konsumen bisa membeli dengan sistem pinjam-pakai tetapi akadnya jual beli. Skema ini mengandopsi konsep sewa-beli dengan sedikit modifikasi. Dengan skema ini, maka akadnya tetap jual beli (cicilan jangka panjang) namun sistemnya pinjam-pakai hingga jangka waktu tertentu. Jadi pada saat cicilan misalnya sudah mencapai 30 persen, maka sudah dianggap melunasi uang muka (DP) dan diteruskan lewat kredit pemilikan apartemen (KPA).
Meski begitu, kata Wahyu, untuk mengurangi resiko memang dibutuhkan agregator. Tanpa itu, skema ini kemungkinan tidak terlalu bagus potensinya,” kata Wahyu.
Sementara untuk rumah tapak, penerapan sewa-beli masih sulit. Pasalnya, pengembang harus mempunyai modal yang besar untuk membangun dulu unit rumahnya. Kemudian jika nanti disewakan dan penyewa tidak mampu melanjutkan dan aset kembali ke pengembang, maka ada resiko biaya untuk perbaikan atau renovasi rumah tersebut. Hal itu perlu dipertimbangkan pemerintah dalam menggodok skema sewa-beli, selain kajian dari sisi perpajakan misalnya terkait hitungan pajak sewa dan lain-lain.
Ketua Bidang Rumah Tapak Subsidi dan Rusun DPP Himperra, Makhmur menyebutkan skema sewa-beli sudah diterapkan untuk hunian termasuk rumah tapak non-subsidi seperti lewat KPR Rent to Own BTN. Tetapi untuk rumah tapak bersubsidi bagi MBR, skema ini belum dapat dinikmati.
“Kami pengembang rumah tapak bersubsidi berharap skema sewa-beli dapat juga direalisasikan. Kami menunggu skema ini bisa dinikmati MBR termasuk untuk sektor informal, sehingga membantu meningkatkan permintaan rumah yang anjlok selama pandemi,” pungkasnya. (aps)