ProDaily, Jakarta – Jelang peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia ke-77, pemenuhan kebutuhan tempat tinggal masih menjadi salah satu masalah utama di negeri ini. Situasi ini diperparah dengan mahalnya harga rumah akibat lahan yang semakin terbatas dan masih belum optimalnya dukungan pembiayaan perumahan terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Riset dari Katadata Insight Center mengungkapkan harga tanah menjadi hambatan utama dalam penambahan pasokan rumah untuk MBR. Hambatan lainnya terkait kemampuan daya beli MBR yang selalu tertinggal dari kenaikan harga lahan dan bangunan.
“Karena itu, keberpihakan pemerintah dan dukungan perbankan sangat penting dalam mendukung kepemilikan rumah untuk segmen MBR sangat penting, terlebih 84% dari backlog atau kekurangan rumah di Indonesia didominasi oleh MBR,” ujar Panel Ahli Katadata Insight Center, Mulya Amri dalam webinar Rumah untuk Semua: Mencari Solusi Masyarakat Merdeka Punya Rumah yang diselenggarakan Katadata, Senin (15/8).
Data Kementerian PUPR memperlihatkan jumlah backlog kepemilikan rumah di Indonesia mencapai 12,75 juta unit. Hal itu masih ditambah data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2020 yang menyatakan hanya 59,5% keluarga menghuni rumah yang layak, sementara sisanya adalah rumah tidak layak huni.
Menurutnya, peran vital pemerintah dan lembaga perbankan sangat krusial untuk mengatasi backlog. Dibutuhkan lembaga perbankan yang berkomitmen menyalurkan kredit konstruksi dan KPR bersubsidi. Di sisi lain, inovasi sumber pendanaan harus menjadi fokus utama untuk kurangi beban APBN.
“Penyertaan Modal Negara (PMN) dan kecukupan modal perbankan bisa mendukung cita-cita mulia pemerintah mewujudkan tempat tinggal yang layak huni untuk masyarakat berpenghasilan rendah,” tegasnya.
Hal senada diungkap Piter Abdullah, Direktur Riset CORE Indonesia. Menurutnya, peran sektor perumahan terhadap perekonomian nasional selama ini sangat besar. Terlebih sektor perumahan ini memiliki multiplier effect terhadap sektor lain, apalagi di tengah kondisi bangsa yang sedang berupaya untuk melakukan pemulihan ekonomi.
“Kalau kita bicara tentang kesejahteraan, maka cita-cita dari kemerdekaan setidaknya dapat terpenuhinya pangan, sandang dan papan untuk rakyat. Kalau kita lihat sekarang, masyarakat bisa makan dan bisa memiliki pakaian. Tetapi kita belum bisa memenuhi standar kelayakan tempat tinggal dalam hal ini papan kepada masyarakat. Saya kira ini menjadi tantangan besar buat Indonesia,” paparnya.
Menurut Piter, dari angka masyarakat yang belum memiliki rumah, sekitar 80% berada di perkotaan. Ini menjadi menarik, karena secara demografi penduduk Indonesia sekarang didominasi kelompok milenial yang sebagian besar tinggal di kota. Kondisi itu menjadikan kebutuhan rumah akan terus tinggi karena generasi muda dan pasangan muda pasti akan membutuhkan rumah-rumah baru untuk keluarganya.
Tetapi masalahnya, dalam tiga tahun terakhir daya serap perekonomian terganggu karena dampak pandemi. Ada sekitar 10 juta angkatan kerja muda yang belum mendapatkan lapangan kerja (pekerjaan) sehingga memengaruhi daya beli mereka akan rumah.
“Akan sangat sulit tanpa adanya intervensi dan program-program khusus dari pemerintah termasuk dukungan pembiayaan dari perbankan,” ujar Piter.
Solusi jangka panjang untuk membantu generasi milenial membeli rumah, menurutnya, adalah dengan membuka lebih banyak lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat. Sedangkan solusi menengah adalah dengan mendorong sisi suplai lewat regulasi yang baik, serta membantu sisi permintaan lewat memperkuat dukungan perbankan terhadap pembiayaan perumahan.
Piter menyebutkan, dari data terlihat bahwa BTN terbukti menjadi andalan utama dalam penyediaan perumahan bagi MBR. Untuk itu, penguatan kelembagaan dan permodalan untuk BTN perlu dilakukan pemerintah.
“Kalau Garuda Indonesia saja bisa mendapat PMN, maka dalam skala prioritas BTN seharusnya juga layak memperoleh PMN karena ini terkait dengan kesejahteraan MBR untuk memiliki rumah yang layak huni,” tegas Piter Abdullah.
Hambatan Penyediaan
Di diskusi yang sama, Wakil Ketua Umum Koordinator DPP Realestat Indonesia (REI) Moerod menekankan pentingnya pemerintah menyelesaikan berbagai hambatan dari sisi penyediaan perumahan di lapangan sehingga kesempatan masyarakat untuk mendapatkan rumah menjadi lebih luas.
Selain hambatan perizinan seperti Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) dan Lahan Sawah Dilindungi (LSD), kendala utama lain berkaitan dengan ketersediaan lahan dan pembiayaan perumahan.
“Tantangan untuk penyediaan perumahan terutama di perkotaan adalah lahan yang semakin terbatas sehingga harganya terus meningkat. Untuk itu, REI mendorong optimalisasi Bank Tanah dan BP3 untuk menghadirkan harga tanah terjangkau bagi pembangunan perumahan di perkotaan,” ujar Moerod.
REI juga mendorong percepatan piloting program agar MBR sektor informal bisa mendapat KPR bersubsidi dari pemerintah antara lain dengan membuka akses pembiayaan perumahan seluas-luasnya untuk pekerja sektor informal. Salah satunya lewat skema rent-to-own.
Moerod menambahkan, REI selalu mendukung berbagai langkah bersama untuk mencari solusi untuk mengatasi kendala pembiayaan perumahan ini terutama bagi kelompok non-fixed income.
“Untuk itu, kami mendukung upaya pemerintah untuk terus memperkuat program dan kelembagaan pembiayaan perumahan termasuk memperkuat bank fokus perumahan yang selama ini telah terbukti berkontribusi besar terhadap capaian Program Sejuta Rumah yang digagas Presiden Joko Widodo,” kata Moerod. (rin)