ProDaily, Jakarta – Pemerintah memastikan pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, akan terus berjalan. Ratusan ribu Aparatur Sipil Negara (ASN) secara bertahap juga akan dipindah mulai dari awal 2024 hingga 2029. Lalu, bagaimana nasib Kota Jakarta pasca IKN dipindahkan?
Ketua Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP) DKI Jakarta, Dhani Muttaqin mengatakan secara legal formal pemindahan IKN sudah pasti akan terjadi. Selain sudah memiliki payung hukum (UU IKN), Badan Otorita IKN juga sudah dilantik. Artinya, Jakarta tinggal menunggu waktu untuk kehilangan status khususnya sebagai ibu kota negara.
Meski bukan lagi ibu kota negara, namun IAP DKI yakin Jakarta akan tetap eksis dan bertumbuh. Riset yang dilakukan asosiasi para perencana kota (planner) itu menyebutkan bahwa di negara-negara yang sudah melakukan pemindahan ibu kota negara atau pusat pemerintahan, terbukti ibu kota lamanya tetap berkembang maju dan bertumbuh. Dia merujuk pada Malaysia, Korea Selatan, Pakistan, Australia dan negara lain yang sudah melakukan pemindahan ibu kota negara.
“Dari 10 tahun pertama hingga sekarang sejak pemindahan tersebut, tidak ada ibu kota lama yang mengalami penurunan dari segi jumlah penduduk dan ekonominya. Semuanya mampu bertahan, bahkan semakin bertumbuh. Hal itu juga akan terjadi di Kota Jakarta nantinya,” ungkap Dhani kepada wartawan pada acara buka puasa bersama IAP DKI Jakarta, Senin (18/4/2022).
Kemampuan kota-kota tersebut bertahan disebabkan beberapa alasan. Pertama, karena secara umum kota-kota eks ibu kota negara tersebut memang bukan bertumbuh dari pusat pemerintahan. Tetapi dari awal sudah memiliki basis pertumbuhan ekonomi sendiri seperti dari kota pelabuhan, bisnis, jasa, dan sebagainya. Sehingga ketika fungsi sebagai pusat pemerintahan dicabut, kata Dhani, kota-kota tersebut tetap saja mempunyai basis ekonomi yang kuat.
Kedua, dari sisi jumlah penduduk (populasi) Jakarta. Menurut Dhani, jumlah ASN yang akan dipindah ke IKN Nusantara di Penajam Paser diperkirakan hanya sekitar 500.000 orang atau sekitar 1 juta bersama keluarganya. Angka tersebut tidak signifikan untuk mengurangi jumlah penduduk Jakarta.
Saat ini total penduduk Kota Jakarta sekitar 10 juta jiwa, sedangkan penduduk Jabodetabek sekitar 25 juta jiwa. Artinya, kata Dhani, Jakarta tidak akan sepi apalagi dikatakan bakal menjadi kota mati.
Ketiga, dari sisi bisnis pemindahan status ibu kota negara dari Jakarta juga diyakini tidak akan terlalu banyak berpengaruh. Mungkin dampak dari sektor pemerintahan terhadap perekonomian di Jakarta selama ini hanya sekitar 3%-5%. Pasalnya, basis ekonomi Jakarta terbesar berasal dari bisnis finansial, industri, jasa, pendidikan dan pariwisata.
“Basis tersebut kami yakini akan cukup kuat menjadi struktur atau pondasi ekonomi Kota Jakarta setelah tidak lagi menjadi ibu kota pemerintahan. Jadi tidak akan decline (menurun), bahkan justru bisa semakin bertumbuh,” tegas Dhani yang merupakan lulusan Jurusan Teknik Planologi Institut Teknologi Bandung (ITB) tersebut.
Momentum Pembenahan
IAP DKI justru melihat ada banyak sekali sisi positif dari pemindahan ibu kota negara tersebut bagi Kota Jakarta. Sedikit banyak, menurut Dhani, langkah tersebut akan mengurangi beban Jakarta dari sisi kepadatan dan kemacetan lalu lintas.
Kemudian tidak adanya aktivitas pemerintahan tentu dapat mendorong pemanfaatan lahan-lahan milik pemerintahan dialihfungsikan untuk memerluas Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan pedestrian.
“IAP DKI justru ingin pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur itu menjadi jalan bagi Kota Jakarta untuk berbenah. Kita harus bisa memanfaatkan momentum terbaik ini,” ujar Dhani.
Ada enam isu penting yang perlu dibenahi. Pertama, terkait banjir perlu dilakukan perbaikan dan pembangunan tanggul laut, dan penataan sungai baik secara struktural atau naturalisasi.
Kedua, mengurangi potensi kemacetan lalu lintas. Dikatakan Dhani, pembangunan dan pelayanan transportasi publik di Kota Jakarta saat ini sudah on the track. Baik pembangunan MRT, LRT, MRT Fase 2 (Tengah-Utara), MRT Fase 3 (Barat-Timur), serta penambahan koridor busway Trans Jakarta.
Ketiga, pengentasan kawasan kumuh. Dhani mengungkapkan, dibalik gedung-gedung pencakar langit nan megah di Jakarta, ternyata sekitar 50% merupakan kampung kota, dan 50% dari kampung kota itu adalah kampung kumuh.
“Persoalan ini juga menjadi tugas rumah yang berat yang perlu kita tuntaskan di Jakarta,” ujarnya.
Isu keempat adalah penyediaan air bersih. Saat ini, baru 60% warga Jakarta yang bisa mengakses air bersih perpipaan. Kelima, soal pengelolaan air limbah baik limbah rumah tangga maupun limbah air kotor dan sampah.
Keenam, pembenahan perlu dilakukan dalam hal penyediaan permukiman terutama untuk masyarakat menengah bawah baik pendekatan melalui pengembangan Transit Oriented Development (TOD) atau pembangunan hunian vertikal.
“Kami yakin Jakarta tidak akan ditinggalkan oleh pemerintah pusat termasuk dalam hal pembangunan infrastrukturnya, karena bagaimana pun Jakarta akan tetap menjadi wajah pusat bisnis dan jasa terbesar di Indonesia yang menjadi tolak ukur terutama bagi pelaku bisnis global,” pungkas Dhani. (aps)