Oleh: Dr. Eng. Ir. IB Ilham Malik
(Pengamat Perkotaan-Dosen Prodi PWK Institut Teknologi Sumatera)
ISU metropolitan sudah lama bergema di Indonesia. Tetapi ia baru saja mencuat menguat setelah Bappenas mengeluarkan program pembangunan 10 Metropolitan Baru sebagai pendorong dan penyeimbang program Ibu Kota Negara (IKN). Dari 10 metropolitan tersebut, ada dua di Sumatera yaitu Mebidangro (Sumut) dan Patungraya Agung (Sumsel).
Sumatera sebenarnya ada beberapa calon metropolitan lain, yang prospek berkembang atau dikembangkan. Mereka adalah Padang, Pekanbaru dan Bandar Lampung. Bisa juga ditambahkan Batam. Tentu di belakang nama kota itu kita tambahkan “dan sekitarnya” atau aglomerasi dari kota-kota tersebut. Dan pasti lintas batas administrasi kota. Maka, keberadaan metropolitan tambahan ini yang di Sumatera, nantinya akan dikoordinasikan oleh provinsi.
Kini kita membahas soal Bandar Lampung yang secara fisik perkotaannya sudah lintas batas administrasi. Kabupaten Lampung Selatan dan Pesawaran, kini terkena efek urban sprawl, kota gepeng alias pipih. Perkotaan secara fisik sudah semakin lebar sejalan dengan tingginya harga tanah, peningkatan jumlah penduduk dan interaksi keduanya.
Karena sudah meluas secara fisik, maka pada 2009 lalu, Kemenhub membuat kajian transportasi aglomerasi Bandar Lampung. Tujuannya adalah meng-guide pembangunan public transport lintas batas administrasi. Dan ini diharapkan menjadi pegangan Pemprov Lampung dalam pengembangan angkutan umum lintas daerah. Sebab pergerakan akibat interaksi antar daerah sudah semakin menguat dan tidak bisa difasilitasi hanya di satu daerah administrasi kecil, misalnya hanya oleh kota Bandar Lampung saja, atau apalagi hanya oleh kabupaten Pesawaran dan Lamsel masing-masing.
Tantangan mendasar yang ada saat ini adalah apakah pemda (maksudnya para pemimpin dan pejabatnya) memiliki kesadaran akan ruang waktu tentang metropolitan ini? Ini menjadi masalah serius. Sebab pejabat kita tidak banyak yang diciptakan sebagai pelayan dan perencana. Terlebih lagi perencana masa depan. Dan ini akhirnya membuat kota metropolitan muncul bukan by design (terencana) tetapi cenderung by incident.
Dia menjadi metropolitan, lalu muncul beragam permasalahan (yang kompleks), kemudian baru disusun rencana penanganannya. Hasilnya? Mayoritas gagal. Makanya selalu ada setelahnya rencana pindah kota, dengan beribu alasan yang melingkupinya.
Kita perlu membicarakannya terus menerus. Menularkan bahasan-bahasan soal ini kepada para pejabat pemda. Sehingga menjadi diskursus dalam benak mereka, mulai dari staf kecil yang ada pada saat ini hingga ke pimpinannya. Harapannya,
jika ini terus didengungkan dan menjadi obrolan dan pemikiran mereka, maka percepatan terwujudnya metropolitan yang terencana, menjadi tercapai.
Sekarang ini, semua pihak perlu saling memberi tahu, memperbicangkannya dan mengadu argumentasi tentang metropolitan hingga akhirnya keadaan akan mengarahkan dengan cepat, setiap pemda, membuat perda tentang kota metropolitan mereka.
Dilanjutkan dengan penguatan kelembagaan metropolitan di pemerintah provinsi, memasukkannya dalam semua regulasi terkait (RPJP, RPJM, RTRW, RIJLLAJ, dst) hingga penganggaran tahunannya ada yang untuk ke-metropolitan-an.
Butuh Desk Khusus
Pemerintah memiliki tantangan besar mengelola 10 Metropolitan Baru tersebut. Plus dengan munculnya metropolitan lain yang “tidak terdaftar” dalam list metropolitan di dokumen pemerintah. Bappenas akan gagap jika tidak mempersiapkan desk khusus untuk memastikan metropolitan di Indonesia berjalan terarah, teranggarkan secara strategis, terlembagakan secara kuat, dan meng-guide kota tersebut ke arah yang benar.
Kerja besar pemerintah pusat sudah masuk ke tahapan baru yaitu memperkuat regulasi dan kelembagaan. Ide besar sudah terucap dan tercatat dalam lembar negara. Langkah selanjutnya perlu segera dilakukan agar bukan sekedar tahu dan hapal di luar kepala (bermakna ingat lalu melupakan). Tetapi aksi, aksi, aksi. Atau dalam bahasa di waktu lalu: kerja, kerja, kerja! (**)