Oleh : Juneidi D. Kamil, SH,ME,CRA
Praktisi Hukum Properti dan Perbankan
Email : kamiljuneidi@gmail.com
POTENSI sengketa dalam pembebasan lahan yang terjadi membuat pengembang harus senantiasa waspada. Pengembang sebaiknya melakukan langkah-langkah mitigasi atas risiko hukum tidak terjadi. Munculnya risiko hukum dalam pembebasan lahan akibat pengembang tidak berhasil mengidentifikasi risiko hukum yang akan dihadapi. Salah satu langkah mitigasi risiko hukum yang dapat dilakukan pengembang adalah dengan melakukan legal audit atau melakukan pemeriksaan dari segi hukum kegiatan pembebasan lahan.
Di dalam bisnis properti, pengembang senantiasa menghadapi risiko dalam aktivitas pembebasan lahan, apalagi pembebasan lahan dilakukan dalam skala besar. Risiko yang pertama sekali dihadapi pengembang adalah saat pemberian ganti rugi kepada pemilik tanah semula yang berhak. Pemberian ganti rugi bukan kepada pemilik tanah yang berhak akan mengakibatkan pembelian lahan itu menjadi tidak sah. Pembelian itu dapat dituntut pembatalannya oleh pemilik tanah yang berhak.
Memastikan pemberian ganti rugi kepada pemilik tanah yang berhak bukan perkara mudah. Dalam pelaksanaan pembebasan lahan akan ditemukan maraknya aktivitas calo-calo tanah. Untuk memuluskan penjualan obyek tanah mereka tidak jarang melakukan pemalsuan dan penipuan surat bukti pemilikan tanah. Bagi mereka yang berpraktek dalam bidang percaloan ini yang penting dana cair untuk meraup keuntungan. Mereka tidak peduli dengan risiko hukum yang akan dihadapi pemilik tanah yang sesungguhnya dan pengembang.
Pengembang yang mendapatkan lahan dari areal perkebunan dengan status HGU yang sudah berakhir jangka waktunya, jangan dikira sama sekali bebas dari sengketa. Dalam praktek ditemukan kasus-kasus perusahaan perkebunan yang belum selesai membebaskan lahan dari pemilik tanah semula. Meskipun pemilik tanah yang berhak tidak menuntut karena masalah ketiadaan biaya dan kurangnya akses untuk memperjuangkan haknya, mereka masih tetap menempati lahan areal perkebunan itu. Dalam kasus lain ditemukan pula adanya lahan dikuasai perusahaan perkebunan sementara sesungguhnya berada di luar areal HGU.
Kelemahan dalam proses pemberian ganti rugi kepada pemilik tanah yang berhak berdampak kepada munculnya kesulitan bagi pengembang untuk melakukan penguasaan fisik lahan. Pengembang terus mendapatkan perlawanan dari pemilik tanah yang merasa berhak dan kesal dengan aktivitas pengembang yang mengganggu kepentingannya. Keadaan ini membuat pengembang menghadapi kendala mengamankan asetnya apalagi memulai pembangunan properti di atasnya.
Pembangunan properti yang tidak serta merta dilakukan setelah pembebasan lahan memunculkan aksi penggarapan lahan. Areal tanah kosong yang luput dari penjagaan pemiliknya akan ditanami dengan tanaman produktif serta pembangunan rumah di atasnya. Di kalangan warga masyarakat masih ada anggapan penguasaan lahan secara terus-menerus dalam waktu yang lama otomatis akan memunculkan hak atas tanah itu.
Undang-undang No.5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang dikenal dengan UUPA tidak menganut asas daluarsa yang dapat mengakibatkan lahirnya hak atas tanah. Adanya surat-surat keterangan penguasaan tanah itu merupakan bukti permulaan hak yang dapat menjadi dasar untuk mengajukan permohonan hak kepada Negara. Obyeknya harus merupakan tanah yang langsung dikuasai negara dalam pengertian belum terdapat hak-hak atas tanah yang sudah terdaftar berdasarkan UUPA.
Berdasarkan hukum Agraria yang dianut di Negara ini, pengembang akan menghadapi risiko hukum meskipun tanahnya sudah terdaftar di Kantor Pertanahan. Keadaan ini disebabkan karena sistem pendaftaran tanah yang dianut di Indonesia adalah stelsel negatif bertendensi positip yang dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Sertipikat hak atas tanah merupakan alat pembuktian yang kuat tetapi bukan merupakan satu-satunya alat bukti. Berdasarkan pengertian ini maka sepanjang dapat dibuktikan sebaliknya sertipikat hak atas tanah dapat dibatalkan. Dalam praktek terdapat beberapa kasus sertipikat hak atas tanah dibatalkan karena cacat hukum. Sertifikat hak atas tanah cacat hukum dapat berupa sertipikat palsu, sertipikat asli tetapi palsu dan sertifikat ganda.
Keadaan ini berbeda dengan sistem pendaftaran yang menganut sistem pendaftaran tanah yang menganut stelsel positip. Dalam sistem pendaftaran tanah ini sertipikat hak atas tanah merupakan satu-satunya alat bukti. Negara bertanggung jawab bahkan berkewajiban memberikan ganti rugi apabila sertipikat hak atas tanah yang diterbitkannya itu batal atau tidak sah.
Legal Audit
Bidang tanah yang dibebaskan ada yang sudah terdaftar (bersertifikat) dan ada juga yang belum terdaftar (belum bersertifikat). Untuk tanah-tanah yang sudah terdaftar maka harus diketahui jenis hak atas tanahnya. Hak-hak atas tanah itu misalnya Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai. Masing-masing jenis hak atas tanah memiliki hubungan hukum antara pemilik dan hak atas tanah yang berbeda antara jenis yang satu dengan jenis yang lainnya. Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai itu juga dapat dibedakan berasal dari tanah yang langsung dikuasai Negara atau berasal dari tanah Hak Pengelolaan (HPL).
Pemegang hak atas tanah yang dibebaskan dapat berupa perorangan maupun badan hukum seperti Perseroan Terbatas, Yayasan dan Koperasi. Kewenangan bertindak dari masing-masing pemegang hak atas tanah harus dipastikan agar mereka bertindak sah dan berkekuatan hukum untuk mengalihkan hak atas tanahnya.
Dalam praktek terkadang pengembang abai melakukan legal audit dalam kegiatan pembebasan lahan yang dilakukan. Dalam praktek pengembang hanya sudah merasa yakin apabila Notaris/PPAT sudah berkenan membuat akta pelepasan hak dengan ganti rugi dan/atau pembuatan akta jual belinya. Padahal sesuatu yang dapat dilakukan belum tentu aman secara legal atau bebas dari risiko hukum.
Legal audit pembebasan lahan dilakukan dengan menganalisis data fisik dan data yuridis dari lahan yang akan dibebaskan. Data fisik adalah keterangan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau segala sesuatu di atasnya. Sedangkan data yuridis adalah keterangan mengenai status hukum bidang tanah, pemegang haknya dan pihak lain serta adanya kepentingan pihak lain di atas tanah itu.
Pengumpulan data fisik tanah harus mengetahui secara persis siapa para pihak yang menguasai lahan itu. Penguasaan data fisik misalnya di atas lahan ditanami dengan tanaman kebun atau tanaman lainnya, terdapat bangunan yang didirikan baik permanen maupun semi permanen. Informasi data fisik lahan termasuk akses masuk lahan proyek bisnis properti yang akan dibebaskan pengembang.
Legal audit memberikan manfaat besar bagi pengembang karena risiko-risiko hukum dalam pembebasan lahan teridentifikasi sejak awal. Risiko-risiko hukum yang teridentifikasi dapat dicegah/dihindari atau diatasi. Untuk mengatasinya maka syarat-syaratnya sahnya suatu perjanjian berupa syarat subyektif dan syarakat obyektif harus dipenuhi. Legal Auditor akan memberikan rekomendasi apakah langkah-langkah yang sebaiknya ditempuh pengembang pada saat proses membaskan lahan. Rekemondasi ini tergantung kepada data fisik dan data yuridis yang diperoleh.
Dalam mencari solusi atas permasalahan hukum dalam pembebasan lahan maka patut dipertimbangkan pendapat Gustav Radbruch adalah seorang ahli hukum dan filsuf hukum Jerman. Beliau membuat teori 3 (tiga) nilai dasar hukum. Berdasarkan pandangan ini, solusi penyelesaian sengketa pembebasan lahan yang berlangsung bukan hanya persoalan nilai kepastian hukum tetapi juga soal nilai kedilan dan nilai kemanfaatan. Kreatifitas dalam mencari solusi permasalahan pembebasan lahan akan semakin berkembang dalam perspektif ini.
Kesimpulan
Penyelesaian permasalahan hukum yang timbul dari pembebasan lahan besar kemungkinan akan menempuh perjalanan panjang. Pengembang sebaiknya menghitung ulang pro & cons dalam menempuh cara penyelesaiannya dengan warga masyarakat. Bagi warga masyarakat yang memiliki bukti penguasaan lahan yang kuat patut dipertimbangkan langkah non litigasi berupa mediasi dalam penyelesaiannya. Masih banyak bentuk-bentuk penyelesaian yang dapat dilakukan dalam mediasi menuju win-win solution.
Akhirnya pesan kepada para pengembang yang melakukan pembebasan lahan, aman dan bijaklah dalam bisnis properti. Semoga artikel ini bermanfaat.